Halaman

Jumat, 03 Agustus 2012

Wakatobi: Journey and Destiny #part2


This journey really gave me many lessons…

Meskipun Wakatobi terkenal dengan bawah lautnya yang katanya seperti surga, jujur saya tidak pernah merasakannya. Kehidupanku disana berkutat antara lokasi proyek dan depan komputer, dari senin sampe senin lagi, dari pagi sampai jika sudah saatnya tidur. Tidak ada waktu untuk sekedar diving sejenak (sebenarnya juga karena saya tidak tahu berenang). Beruntung posisiku masih bawahan dan pemula saat itu, sehingga tidak begitu merasa tertekan. Tidak seperti beberapa dari kami. 

Bayanganku tentang Wakatobi yang indah seperti Bali, berubah 180 derajat. Tiba di bandara Matahora yang masih sederhana itu dengan Express air (pesawat kecil yang hanya memuat kira-kira 30 orang), dijemput oleh L-300 (kendaraan operasional bagian logistik), ditemani teriknya matahari Wakatobi. Ternyata tempatnya tidak jauh. Di bandara itulah, direksi keet perusahaan BUMN itu dibuat. Maklum Bandara juga adalah salah satu proyek yang sedang berjalan. Tugasku sebenarnya menangani gambar untuk proyek Kementerian Kelautan dan Perikanan, tapi berhubung belum jalan, jadilah untuk sementara saya membantu pengerjaan proyek Bandara Matahora. Begitulah kehidupanku berjalan kala itu.
Lalu ada sebuah kejadian yang mungkin tidak akan aku lupakan seumur hidup. Kejadian itu sangat menggemparkan. Seorang temanku memutuskan mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Ngeri rasanya jika berusaha mengingat kejadian itu lagi, tapi karena banyak hikmah yang bisa dipetik, cerita itupun harus kubagi. Boleh dibilang beliaulah partner sekaligus supervisorku. Umurnya masih sangat muda, merupakan rekrutan dari pusat, dan alumni salah satu universitas top di negeri ini. Kami berdua diplot untuk menangani proyek KKP, sementara yang lain menyelesaikan urusan Bandara. Saat itu Kepala Proyek tidak ditempat, yang mengatur logistik pun belum kunjung tiba di Wakatobi, sementara si ‘wakil kapro’ belum pulang dari kampung lantaran ayahnya sakit keras. Saat itu pasca libur lebaran, dan jadilah temanku ini memegang 4 pekerjaan sekaligus. Saya bisa merasakan tekanan bertubi-tubi datang padanya lewat telepon. Meski tak pernah bercerita penuh, gurat kelelahan terus memancar. Kadang-kadang keluar dari mulutnya keluhan bahwa ia benar-benar lelah. Berulangkali saya menawarkan bantuan, tapi beliau mengatakan bahwa saya tidak mengerti, dan memang benar. Pekerjaan disini sebenarnya mengarah ke Sipil, dan pengetahuan saya akan struktur sangat kacau, bahkan membuat dan menghitung bestaat lama baru bisa saya pahami. Tentu saja, itu karena diriku hanyalah fresh graduate dari jurusan Arsitektur. Kejadian tak diinginkan pun terjadi. Tepat hari Jum’at , saat Kapro (baca: kepala proyek) dan KSDM datang, beliau tak kunjung kelihatan batang hidungnya sejak pagi, padahal biasanya dia yang paling rajin, pagi-pagi buta sudah duduk serius depan laptop, hari itu kami juga tidak melihatnya sarapan pagi. Kemana dia? Awalnya kami tidak menghiraukannya, kami beranggapan mungkin dia hanya refreshing sejenak keliling runway, tapi ketika siang menjelang, waktunya sholat jum’at, beliau tidak kunjung pulang sampai sore dan kami pun mencarinya keliling kampung. Hingga akhirnya menjelang maghrib, orang kampung menemukannya dalam kondisi yang saya pun tidak sanggup melihatnya.
Kehidupan proyek yang keras mungkin yang membuat beliau mengambil keputusan itu. Sampai sekarang pun saya tidak pernah mengerti. Bukankah kita masih punya Allah? Tempat mengadu. Padahal temanku ini termasuk yang sholat, ditengah orang-orang proyek yang kebanyakan tidak sholat bahkan tidak mengenal agamanya.
Kejadian demi kejadian menghampiri kami. Baik yang masuk akal maupun yang tidak bisa diterima oleh akal sehat. Ada lagi kejadian gedung yang tengah kami rampungkan disambar petir. Dan masih banyak lagi. Saya mengalami episode terhoror dalam hidup saya, yang sebelumnya, hanya saya saksikan lewat layar kaca,  kali  ini benar-benar kualami.
Di tempat ini saya juga berjuang dengan sangat keras, membuktikan bahwa wanita berjilbab besar sepertiku juga bisa. Tampaknya saya harus terbiasa dengan pandangan orang-orang ketika pertama kali bertemu, yup..melihatku dari atas sampai bawah. Huhhh…Am I a strangeous one? Tapi tidak apa-apa, saya harus bekerja keras untuk itu.
And… it’s my destiny.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar