Halaman

Jumat, 18 Mei 2012

Memangnya kenapa dengan jilbab saya?? #Part 1



Jilbab.. siapa yang tidak kenal dengan kata ini?? Rasanya tidak ada.. terlebih di Negara ini di mana Muslim adalah mayoritas. Namun, entah mengapa belakangan ini aku memikirkan tentang kata dan benda ini, terlebih setelah lepas dari dunia sekolah, dunia belajar, dan masuk ke dunia lainnya yaitu dunia kerja. Ternyata jilbab bagi dunia yang terakhir kusebutkan  merupakan sesuatu yang asing. Dan inilah kisahku yang barangkali turut dialami oleh banyak muslimah di Negara yang katanya mayoritas muslim ini.
Jilbab.. ya ia memang hanya selembar kain dengan warna beragam dan bahan yang bermacam-macam, namun, lebih dari itu bagi mereka yang memahami tetang titah-Nya, tidak akan menganggap jilbab ini hanyalah selembar kain saja.  Jilbab adalah sebuah prinsip, sebuah simbol keta’atan, dan sebagai simbol kehormatan. Bahkan bukan hanya symbol saja, ia lebih ke pemaknaan mendalam terhadap aturan agama yang manfaatnya adalah untuk muslimah itu sendiri.
Setelah memastikan langkah keluar dari dunia kampus, pencarian kerja pun dimulai. Saya termasuk didalamnya. Benar  kata orang, cari kerja itu tidak mudah. Sudah bermodalkan ijazah sarjana di tangan belum tentu mudah mendapatkan pekerjaan, tidak terima fresh graduate lah, harus punya pengalaman lah, dan terkadang ada juga yang tidak menerima berjilbab… hhhh…komplitnya. Ternyata setelah keluar dari dunia kampus jauh lebih sulit, apalagi omongan orang “ masa’ sarjana nggak kerja-kerja!”. Seminggu.. Sebulan… masih aman… lewat dari itu sudah dapat warning… pertanyaan sekarang berganti, dari yg dulunya ‘kapan selesai kuliah?’ sekarang jadi ‘kerja dimana?’.. kalau punya pekerjaan bakalan sangat enteng menjawabnya, tapi kalau tidak punya yah hanya bisa mengatakan ‘masih dalam proses pencarian’ dengan kata lain masih nganggur.
Perusahaan pencari pekerja ternyata modelnya bervariasi, sama bervariasinya dengan orang-orang pencari kerja. Ada yang meminta skill tertentu, ada yang minta bisa software ini itu, dan yang paling menghilangkan senyuman di wajah adalah perusahaan yang minta pengalaman. Namun, saya disini hanya akan membahas tentang jilbab di dunia kerja.
Beberapa bulan yang lalu saat juga masih mencari kerja, beberapa perusahaan swasta di Jakarta menawari saya pekerjaan. Sempat kaget karena tawaran itu datang melalui informasi tentang diri saya yang saya muat dalam situs pencari kerja. Senang di awal, komunikasi via email maupun telepon dengan HRD disana masih hangat, tapi ketika saya mengirimkan CV dan foto saya, beberapa mundur dengan langkah teratur, dalam artian tidak jadi mengontrak saya. Ada yang memutuskan komunikasi tanpa ada kata-kata penolakan apa pun, ada juga yang masih sopan mengatakan penolakan. Salah satu perusahaan mengatakan pada saya, ‘maaf mbak, bukannya di perusahaan kami tidak menerima berjilbab, tapi rata-rata karyawati kami yang berjilbab disini, jilbabnya dimasukkan ke baju, kalau mbak setuju untuk seperti itu, kami akan segera mengatur jadwal wawancara dengan mbak’,…..dunggg… perasaanku seperti tertusuk, dengan kata lain bapak ini menyuruh saya mengecilkan jilbab saya.  Mengecilkan jilbab?? Dengan entengnya mereka bilang seperti itu. Tidak tahukah jilbab ini prinsip bagi saya?
Bukan masalah besar atau kecilnya jilbab tapi lebih pada mereka memandang sebelah mata orang yang berjilbab. Katanya tidak fleksibel lah, kurang rapi lah, dan semacamnya. Belum mencoba melihat kemampuan seseorang, sudah memutuskan untuk tidak menerima.
Mungkin sudah berpuluh-puluh surat kabar saya baca tujuannya hanya satu untuk mencari lowongan kerja, hingga pada akhirnya aku pun melihat salah satu lowongan. Iklannya kecil, hanya beberapa baris, tapi kupikir biarlah yang penting kerja dulu. Tidak usah berpikir bonafit atau tidaknya perusahaan itu. Karena trauma selalu ditolak gara-gara jilbab, pada saat wawancara (tidak resmi) via telepon saya mengatakan ‘apakah bapak menerima orang berjilbab?’ , Alhamdulillah bapak tersebut welcome dan mengatakan ‘ justru kami lebih menerima yang berjilbab dik, datang saja besok ke kantor untuk wawancara’. Hatiku serasa mencair, meskipun belum pasti tapi setidaknya ada setitik harapan.
Keesokan harinya, rupanya Allah memudahkan segala urusanku. Hari itu juga Bapak tersebut menerima saya bekerja di kantornya dan sama sekali tidak ada syarat penampilan. Alhamdulillah, saya merasa beruntung Allah menjawab doa-doaku. 


*wakatobi,17 September 2011
(Bersambung... Insya ALLAH)


1 komentar: