Halaman

Jumat, 03 Agustus 2012

‘Rahma’ dalam hidupku


Dalam hidupku, ada banyak yang kukenal bernama Rahma. Rahma adalah nama yang bagus…dan ketiga Rahma yang akan kuceritakan ini adalah orang baik yang luar biasa. Rahma pertama, Rahmawati Hasbi, dia seorang sahabat. Kami kenal sejak SMP di SMPN 5 Makassar dan saya bersyukur sampai sekarang persahabatan itu tetap terjalin malah sudah seperti saudara. Aku memanggilnya Wati.
Tapi Wati yang biasanya juga dipanggil Rahma yang ini sifatnya berbanding terbalik denganku, saya yang urakan, nggak rapi, kadang cerewet dan suka marah-marah, berbanding terbalik dengan dia yang kalem, adem, ramah luar biasa, dan yang paling penting selama kenal dia tidak sekalipun kulihat dia marah. Wajar saja banyak yang sayang sama dia, termasuk saya. Meskipun tumbuh dewasa secara terpisah karena beda SMA dan kuliah, rasanya kami selalu sehati, soulmate gitu, dan Alhamdulillah kami sama-sama dianugerahkan hidayah oleh-Nya.
Rahma yang kedua, saya lupa nama lengkapnya, tapi perannya sangat penting buatku. Dialah perantara sehingga aku mulai mengenal Islam. Masih jelas diingatanku, saat itu libur puasa kelas 3 SMA. Kami satu tempat bimbingan belajar. Waktu itu dia adalah siswa SMAN 5 Makassar. Dialah yang pertama memperkenalkanku pada daurah. Meskipun setelah daurah tidak lanjut dengan pengajian rutin tiap minggu dikarenakan sekolahku yang berasrama dan jauh di atas gunung, pengalaman daurah itulah yang membuatku rindu bermajelis ilmu. Setelah lulus SMA dan menunggu pengumuman SPMB, saya mencari kembali majelis itu. Majelis yang menenangkan jiwaku itu.
Dan Rahma yang ketiga, tidak lain dan tidak bukan saudara seperjuangan LIMIT (Lingkar Studi Mahasiswa Muslim Teknik). Namanya Siti Rahmadayanti. Dia mahasiswa jurusan Elektro angkatan yang sama denganku. Kami dipertemukan karena visi yang sama kala itu untuk menegakkan dakwah di teknik, terutama bagi mahasiswi. Lepas dari almamater pun ternyata persaudaraan kami masih berlanjut. Dia banyak member masukan, pun kami berdua tak lupa saling menguatkan. Dan yang paling berkesan adalah saat-saat perjuangan di Jakarta. Pernah ada masa dimana kami berdua berangkat bersama ke tempat pengajian. Waktu itu kantongku sangat kering, bahkan untuk pulang ke rumah uwa’(sapaan om atau tante dalam bahasanya ibuku) dibilangan Rawamangun dengan busway,uangku masih kurang Rp. 1.000. (NB: Naik busway sekali jalan=Rp.3.500). Waktu itu kita naik motornya Rahma yang masih ada bensinnya. Diturunkan di Tamini Square, Rahma ambil alih kendali motor untuk kembali ke rumahnya di bilangan Jatiasih, Bekasi.  Alhamdulillah meskipun belum gajian dan juga sama sekali tidak punya uang, Rahma  tetap memberikan satu-satunya uang di dompetnya yang bernilai 1.000 rupiah. Kenangan itu sangat berharga. Bukan hanya itu, Rahma lah orang yang tak lupa memberi masukan dan tetap menasehatiku.
Jazakillah khair untuk Rahma, Rahma, dan Rahma…semoga ALLAH membalas kebaikan kalian semua padaku. Dan kelak kita dipertemukan dalam Jannah-Nya, dan membuat para syuhada iri lantaran persaudaraan ini adalah karena ALLAH.

1 komentar: