Halaman

Rabu, 05 November 2014

Serunya Belajar Perencanaan Kota di Jepang

Jepang terkenal dengan kemajuan teknologinya dan dari dulu sampai sekarang Indonesia sangat tergantung dengan produk-produk teknologi buatan Jepang ini.  Mungkin karena sebab ini juga, banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di Jepang mengambil jurusan yang tidak jauh dari teknologi dan penemuan terkini. Ketika memasuki universitas, banyak teman-teman yang bertanya keheranan mengapa saya memilih Jepang. Bidang saya adalah Arsitektur dan di dunia arsitektur Jepang sebenarnya kalah populer dengan negara-negara Eropa  atau sesama Asia seperti Hongkong dan Singapura. Saat awal saya memang agak meragukan pilihan ini, tapi banyak faktor yang membuat Jepang layak untuk dijadikan contoh terutama terkait bidang 'planning'.
Saya mengambil master di bidang Policy and Planning Science di University of Tsukuba, perfektur Ibaraki. Jurusan ini baru dan tidak umum di Jepang khusunya bagi yang berminat pada perencanaan kota (urban planning), awalnya saya juga sempat merasa ‘terjebak’, karena sebenarnya saya menginginkan pembelajar murni tentang perencanaan kota. Mungkin ada yang bingung, kan gampang kalau mau pindah jurusan, tinggal pilih terus ikuti tesnya.  Di Jepang sayangnya tidak semudah itu. Sistem pendidikan S2 di Jepang pada mengharuskan kita sudah mengontak dan mendapat professor yang mau membimbing sebelum memasuki universitas, nah Sensei (sebutan untuk professor) saya berada di bawah naungan jurusan tersebut.  Karena tidak mau susah-susah cari Sensei lagi, saya akhirnya ikut saja tes masuknya, dan alhamdulillah lulus.  Saya memilih memperluas lingkup keilmuan saya ke arah perencanaan kota, ini bukan berarti ‘berkhianat ‘ terhadap arsitektur, tapi perencanaan kota menjadi penting mendukung keilmuan arsitektur yang sudah saya pelajari sebelumnya. Saya  ingin seperti Ridwan Kamil, arsitek yang paham kota, dengan memahami kota mungkin kita bisa lebih peka dan tidak sembarangan mendesain berdasarkan selera semata.
Dalam jurusan Policy and Planning Science, bidang keilmuannya  dibagi menjadi  3; Assets and Resources, Space and Environment, dan Organization Behavior. Nah..urban planning masuk di antara Space and Environment dan Assets and Resources, membingungkan ya? Saya juga bingung kenapa dibuat serumit ini.  Awalnya saya pikir perencanaan kota tidak akan jauh dari arsitektur kota, tapi ternyata masalah kota lebih kompleks dan ketika menjalani semester pertama, saya tidak hanya belajar urban planning semata tapi juga sejarah, ekonomi, analisis data, dan banyak lagi.
Satu yang spesial dari sistem perencanaan kota di Jepang yaitu machizukuri dimana masyarakat haruslah dilibatkan dalam prosesnya. Sebelum merevitalisasi sebuah kawasan, perencana dan pemerintah setempat akan mengadakan forum untuk mendengarkan keinginan dan pendapat warga. Yang saya lihat, mereka sangat serius dalam membangun kota yang benar-benar akan dinikmati penghuninya, tidak hanya berdasarkan politik ego-sentris maupun keuntungan ekonomi semata seperti yang banyak terjadi di kota-kota di Indonesia. Adanya machizukuri ini juga menjadi salah satu alasan saya memilih Jepang untuk belajar. Negara ini juga punya hubungan historis dengan Indonesia, sehingga infrastruktur pun terdapat banyak kemiripan. Memasuki perkuliahan memberikan pengetahuan tambahan bagi saya bahwa apa yang dialami kota-kota di Indonesia sekarang ini pernah dialami Jepang pada tahun 1970an.
Saya sempat mengambil kelas Urban Risk Management.  Kelasnya menarik, terlebih saat  kebagian grup Evacuation Plan bersama 3 orang Jepang asli dan 1 orang Estonia. Kami memilih Nihonbashi Chuo-ku Kabuto-cho dan Adachi-ku Senju 2-chome. Kalau bukan karena tugas kampus, mungkin tidak akan pernah tahu rasanya menjelajahi sudut-sudut Tokyo. Kalau saya hanya sekedar plesiran ke tempat-tempat terkenal yang dibawa pulang hanya  foto dan lelah. Saya jadi tahu banyak tentang permasalahan kota di Jepang dan betapa antisipatifnya mereka terhadap bencana.  Ada satu kejadian memalukan saat mengunjungi Kabuto-cho.  Wilayah ini dipadati dengan gedung-gedung high-rise tapi jalan lingkungannya sangat sempit  padahal densitasnya tinggi.  Saya mengusulkan supaya kita melakukan uji coba, dari titik A ke titik B berapa waktu yang dibutuhkan untuk  mencapainya sebagai simulasi jika ada bencana terjadi, tapi teman Jepang saya bilang, ‘karena tarik garis di Google Map dari sini ke sana bisa ditahu waktunya, jadi tidak perlu simulasi’, arrgh…malunya.. saya lupa kalau ini negara maju yang informasi geospasialnya tidak perlu diragukan, ‘dasar  dari negara  berkembang’, celetuk saya dalam hati.  


Mata kuliah lainnya yaitu dari Sensei, ‘History of Urban Built Environment’.  Disini kami ada grup work lagi, tapi sebelumnya 2x kelas sensei diadakan di luar kelas, mengunjungi kawasan  konservasi yang ada di Tsukuba dan sekitarnya. Jepang sungguh luar biasa dalam mempertahankan kekayaan budayanya termasuk rumah-rumah tradisional. Saat itu grup saya adalah satu-satunya grup yang anggotanya tidak bisa berbahasa Jepang. Tugasnya adalah mengobservasi  kawasan konservasi di Jepang, karena tidak tahu sama sekali,  Sensei  memilihkan Makabe untuk kami.  Makabe dulunya adalah joka-machi­ (castle town) dan letaknya di Sakuragawa city,  40 menit naik mobil dari Tsukuba. Field survey kali ini sebenarnya adalah kali kedua saya mengunjungi Makabe. Yang pertama bersama Sensei dan  3 orang teman lab, menjadi relawan merekonstruksi sebuah rumah tradisional yang hancur pasca gempa besar 2011 lalu.  Kali kedua saya datang kota kecil itu tidak seramai ketika pertama kali mengunjungi, ternyata hanya ramai jika ada festival. Hal penting yang kami dapatkan dari tempat ini adalah betapa totalnya pemerintah Jepang menjaga asset budaya, menjadikan daerah tersebut dan rumah-rumah ‘Machiya’ gaya era Edo dan Meiji didalamnya tetap berdiri sampai sekarang meskipun mereka menghadapi kendala utama yaitu menghidupkan kota yang populasinya terus menurun.





Kelas Urban regional Analysis  yang baru saja saya ambil di Fall Semester 2014 ini juga tidak kalah seru. Kembali dibagi menjadi kelompok-kelompok, saya dan 2 teman Nihon-jin (sebutan untuk orang Jepang)  kebagian menganalisis keadaan inner city Ishioka, sekitar 40 menit dengan mobil dari Tsukuba. Ishioka adalah salah satu kota penting di Jepang pada zaman Edo juga menjadi salah satu venue perhelatan Olimpiade 1964. Seperti yang sudah saya duga, kota ini pun lumayan sepi. Penurunan populasi memang menjadi masalah besar sekarang ini di Jepang, setiap pemerintah kota harus berupaya maksimal membuat orang-orang mau datang dan menetap di kotanya, sehingga kota menjadi hidup dan tidak hanya diisi oleh orang-orang lanjut usia. Yang menjadi pusat perhatian field survey kami adalah stasiun Ishioka, BRT (Bus Rapid Transit) system, dan  看板建築  (Signboard Architecture).  Tentu saja kami harus mengunjungi tempat tersebut untuk merasakan langsung suasana kota, dan ternyata permasalahan kota ini tersandung pada tidak adanya konektivitas antara stasiun Ishioka dan arsitektur uniknya (看板建築).  Berjalan kaki dari stasiun ke historical (看板建築)site kami tidak menemukan infrastruktur yang sudah baik tersebut dipergunakan sebagaimana mestinya, tidak ada orang yang berjalan maupun bersepeda, padahal jalan tersebut jalan penghubung yang paling strategis. Hingga saya menuliskan ini, kami masih mencari solusi perencanaan yang baik untuk ‘menghidupkan’ kota Ishioka. 



Pengalaman tidak kalah seru lainnya ketika alhamdulillah saya diikutkan Sensei dalam penelitian beliau mengenai arsitektur tradisional pulau Amami. Pulau Amami terletak di perfektur Kagoshima, secara geografis letaknya sangat dekat dekat Pulau Okinawa yang terkenal itu, di daerah paling selatan Jepang. Kondisi alam pulau Amami lumayan mirip Indonesia, namun tentu saja alam Indonesia jauh lebih cantik. Kami meneliti pola spasial permukiman warga di Desa Ushiku dan tugas kami menggambar layout rumah-rumah tradisional yang ada disana. Dari perjalanan ini, saya tahu bagaimana penelitian terkait arsitektur tradisional dilakukan di Jepang. Seperti yang saya ungkapkan diawal, Jepang tidak hanya unggul dengan kemajuan teknologinya tapi juga kesungguhan mereka dalam mempertahankan aset atau kekayaan asli bangsanya. Di Jepang, kemajuan teknologi membentuk harmoni yang serasi dengan kekayaan budaya dan keunikan alamnya. Penelitian ini akan digunakan kelak jika pemerintah Jepang ingin menjadikan site ini sebagai wilayah konservasi.



Jika pernah dengar istilah CBD, maka salah satu CBD (Central Business District) di Tokyo adalah kawasan Otemachi-Marunouchi-Yurakucho. Gabungan tiga wilayah di sekitar Tokyo Metro Station ini  merupakan salah satu pusat ekonomi Jepang, dan disinilah high-rise building banyak didapati juga perusahaan multinasional dan kantor media massa Jepang berpusat.  Kami mempelajari wilayah ini pada mata kuliah Urban Renewal and Project Area Management.  Patut diacungi jempol betapa ketat namun perhatiannya pemerintah Jepang terhadap penataan kota. Tidak tanggung-tanggung, jika sebuah  gedung dirasa tidak sesuai dengan konsep skyline kota, si pemilik harus mengubahnya. Hal lain lagi, mereka sangat menghormati sejarah dan menginginkan unsur historis tidak hilang meskipun di wilayah tersebut cenderung adalah kota modern. Kuliah dibawakan oleh para Eksekutif dari Mitsubishi Development dan The Council for Area Development and Management of Otemachi-Maronouchi-Yurakucho.  Salah satu contoh rule yang diterapkan adalah oleh kantor Mitsubishi itu sendiri dimana mereka mengembalikan fasad lantai dasarnya menjadi sama persis ketika kantor tersebut didirikan berpuluh tahun yang lalu. Kawasan ini ingin menyatukan konsep kekinian dan konservasi sejarah.  


Awalnya saya memilih arsitektur karena saya suka mengkhayal, suka membayangkan sesuatu, suka merencana.  Semakin kesini saya semakin sadar,  perencanaan bukanlah pekerjaan mudah, planning is unfinished work, bahkan jika rancanganmu telah selesai dibangun, dari situlah assessment yang sesungguhnya dimulai, berhasil atau tidak. Dalam arsitektur apalagi tata kota, seorang perencana dituntut punya pengetahuan yang luas. Bisa jadi akan sedikit mempelajari psikologi, ekonomi, mobilitas, sistem transportasi, sosiokultural, kebijakan dan politik. Terlalu luas dan kompleks sebenarnya, tapi  tugas perencana adalah membuat sesuatu yang ditempati manusia dan memastikan produk buatannya tersebut benar-benar mendatangkan manfaat yang baik dan nyaman untuk dihuni. 

11 komentar:

  1. Perencanaan bukanlah pekerjaan mudah. Saya sepakat dengan hal itu Isti. Dan memang, kriteria "sukses" dari apa-apa yang telah terkonsep bukanlah ketika konsep tersebut telah dibangun. Namun, pada efek, hubungan timbal balik dengan lingkungan sekitarnya bertahun-tahun ke depan.. Arsitektur adalah passion yang berhubungan erat dengan jiwa. Ia adalah pekerjaan yg tak pernah berhenti tuk sekadar "selesai"..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat Kak! Meskipun rumit dan kompleks tetap sangat menyukai Arsitektur

      Hapus
    2. masih mempelajari dan menggali dulu nih ,

      Hapus
  2. assalamualiakum ka isti salam kenal saya hanifa, ka saa mau bertanya bagaimana cara mendapatkan sensei untuk melanjutkan kuliah S2 di jepang ? terimakasih ka

    BalasHapus
    Balasan
    1. silahkan baca postingan saya ini, semoga berhasil!
      http://istiqamahsyawal.blogspot.co.id/2014/11/step-by-step-kuliah-s2-di-jepang-part-1.html

      Hapus
    2. Selain universitas tersebut adakah saran universitas lain dijepang yang menawarkan jurusan perencanaan Wilayah dan kota/ planologi?

      Hapus
  3. Salam kenal kak. Saya Agung Alif Pratama dari PWK UNHAS 2016. Apakah salah kak kalau lebih memilih kuliah S2 di Indonesia daripada luar negeri?

    BalasHapus
  4. Terimakasih untuk sharingnya mba isti. Doakan agar sayapun juga bisa berkuliah urban planner di Jepang. Aamiin

    BalasHapus
  5. Salam kenal kak. Blognya sangat memotivasi dan telah memberikan saya banyak ilmu tentang profesi seorang planner, terimakasih :)

    BalasHapus
  6. Assalammu'alaikum mba, salam kenal. Sebelumnya terimakasih atas sharingnya, mau tanya mba s2 di jepang beasiswa atau tidak ya? Kalau beasiswa bisa tolong share ceritanya atau link terkait? Terimakasih

    BalasHapus