Halaman

Jumat, 04 Januari 2013

My Hijab story


Aku mendekati Mama Nurung, tante yang merawatku selayaknya anak sendiri,  “Ma, saya ingin berjilbab! Masa’ adek-adek ku di kampung sana sudah pake duluan, padahal masih kelas 2 SD. Saya sudah mau naik kelas 5 SD belum berjilbab sama sekali!”.  Kejadian itu 14 tahun yang lalu, disaat saya belum tahu apa-apa bagaimana jilbab itu sebenarnya dengan segala macam konsekuensinya. Saat itu saya hanyalah seorang kakak yang  iri pada amalan shaleh yang dilakukan si adik. Pada usiaku saat itu, saya selalu tidak ingin dikalahkan.

Jilbab pertamaku seukuran seperdua lengan, berwarna putih, saya pun dibelikan baju lengan panjang, tapir rok SD saya tetap sependek rok SD pada umumnya. Untuk menutupi betis, saya menggunakan kaos kaki yang lebih panjang dan tinggi.  Karet dasi SD saya sudah lumayan longgar, tapi ini justru menguntungkan saya. Saya terus menariknya agar meskipun mengenakan jilbab, dasi saya tetap terlihat dan pakaian yang saya kenakan tetap sesuai aturan.
Tahun 2012, umur jilbab atau hijab yang kukenakan ini jika diibaratkan dengan usia seorang manusia, maka ia telah menginjak usia remaja, yah kurang lebih 14 tahun. Jilbabku kini besar tidak hanya dari segi ukurannya yang memang besar tapi maknanya yang kini bukan lagi seperti belasan tahun lalu yang hanya sekedar iri, tapi ini adalah pakaian kebesaranku, kebanggaanku sebagai seorang muslimah.
Pertama kali memakai jilbab ke sekolah pada tahun 1998, jilbab tidak sepopuler sekarang. Adalah aneh memakai jilbab padahal masih sekolah dasar. Tapi saya terus saja, dan alhasil jilbab yang masih belum sempurna karena roknya masih pendek ala rok SD itu akhirnya jadi bulan-bulanan bahan ejekan teman-teman. Dibilang botak lah, aneh lah, apa aja deh.  Meskipun masih bongkar pasang karena masih kecil, tapi saya terus berusaha belajar. Dan sungguh hidayah Allah-lah yang bekerja disini.
Ketika mengunjungi Nini (sebutan untuk nenek dari pihak ibu) di Cilacap, Jawa Tengah, saya tidak pernah sekalipun melepas jilbab. Perjalanan yang hanya saya lakoni berdua dengan kakak tertua saya yang saat itu masih kelas 2 SMP benar-benar memberikan pengalaman  berharga. Kami berdua, yang biasanya hanya berjilbab ke sekolah, tiba-tiba tidak pernah melepas jilbab kami kecuali jika ingin mandi dan tidur.  Dari sorot mata Nini saat itu terlihat jelas  bangga dan terharu melihat cucunya yang lahir dan besar di tanah nun jauh disana  masih bisa mendapatkan nilai-nilai islam. Sayangnya ketika kembali ke Makassar, kami kembali ke kebiasaan lama yang hanya berjilbab ketika ke sekolah. Nini yang beberapa bulan kemudian berbalik mengunjungi kami karena lahirnya si bungsu terlihat sangat kecewa, pertama kali yang terlontar di mulutnya ketika melihat kami menyambutnya di pagar rumah tanpa berhijab, ‘lha hijabnya mana nak? Kok dilepas?’. Deggg… pertanyaannya sopan tapi sungguh menusuk. Aku pun berazzam sejak saat itu untuk terus memperbaiki kualitas hijabku.
Memasuki dunia SMP, aku bertemu seseorang yang kemudian menjadi sahabatku hingga saat ini. Namanya, Rahmawati, tapi aku memanggilnya Wati. Dia sungguh baik. Sama sepertiku dia berhijab sejak SD. Hanya ada 4 orang yang berjilbab diantara kurang lebih 300 orang di angkatan kami. Wati sungguh memberi pengaruh positif kepadaku. Saya pun mulai tetap berjilbab meskipun tidak disekolah. Ketika keluar main di sekitar rumah dan lain-lain saya berusaha berjilbab, tapi didalam rumah tidak. Saya pun berpikir, di dalam rumah boleh jadi ada tamu, bukankah tamu itu orang lain dan tidak bisa melihat kita tidak berjilbab? Dan begitulah terus berjalan hingga SMA.
Banyak yang mengatakan masa-masa SMA adalah masa pencarian jati diri. Saya sangat setuju dengan hal itu. Sungguh kuasa Allah, hatiku kala itu sangat tertarik membaca majalah-majalah atau buletin islami. Membacanya seperti ada ketenangan hati dan perasaan baru mengetahuinya padahal boleh jadi ilmu itu sudah pernah didapatkan sebelumnya. Menginjak kelas 3, kami disarankan mengikuti bimbingan belajar yang intensif saat libur bulan Ramadhan. Saat ikut disalah satu bimbingan belajar yang ada di kota Makassar itu, seorang teman mengajakku mengikuti semacam pengajian, waktu itu istilahnya masih asing di telingaku, ‘daurah’, lebih jelasnya belajar islam, ragu awalnya tapi saya akhirnya ikut saja. Subhanallah… diri ini rasanya baru benar-benar mengenal Allah saat itu. Daurahnya dilaksanakan di tempat sederhana dan jumlah kami sebagai peserta tidak cukup sepuluh. Ilmu yang saya dapatkan dari k pemateri lumayan banyak tapi menyenangkan. Setelah itu saya juga akhirnya tahu bahwa sebagai seorang muslim menuntut ilmu agama adalah sebuah kewajiban. Mulailah saya mengulurkan jilbab lebih panjang, dari yang segitiga kecil ke segitiga yang agak besar. Ini agak aneh. Karena SMA saya merupakan sekolah negeri yang berasrama, perubahan saya kala itu ‘cukup’ mendapatkan perhatian. Tapi bagaimanapun sebuah amal haruslah didasari dengan ilmu, dan sebuah ilmu tak akan ada apa-apanya jika tidak diamalkan. Saat itupun saya kemudian belajar menghijabi hati dari perkara-perkara maksiat. Saya belajar dan belajar.
Masa-masa kuliah adalah masa yang penuh keputusan penting sebagai bukti proses menuju dewasa. Aku melihat dikampusku kakak-kakak yang lebih dahulu mengikuti pengajian memakai jilbab yang lebih besar, lebih tertutup, lebih syar’i. Hatiku bergumam kala itu, ‘saya akan memakai hijab seperti itu suatu saat nanti jika sudah siap’. Saya pun mulai aktif mengikuti kajian-kajian keagamaan diluar rutinitas kuliah. Tak ternilai harganya bergaul dengan orang-orang shaleh karena kita pun akan merasakan dampaknya. Sampai pada tahun yang penuh duka dimulai, tepatnya tahun 2008, ketika secara beruntun keluargaku menghadap Allah Azza wa jalla ,dimulai dari  Bapak Serang, paman tersayang yang merawatku sejak kecil yang meninggal pada 3 februari,  lalu pamanku (saudara ayah) sepuluh hari kemudian, kemudian nenek satu-satunya tiga bulan kemudian, saya lalu berpikir mengapa saya memperlambat realisasi niat? Bukankah saya tidak tahu batas umur saya? Bukankah kebaikan harus disegerakan?  Bismillahirrahmanirrahim… jilbabku kuulurkan lebih panjang lagi dan lebih besar. Saat itu saya berpikir untuk membawa shalat dalam kehidupan sehari-hari melalui pakaian yang kukenakan. Jilbabku kuulurkan sebesar mukena atau setengah paha dengan harapan jilbabku ini bisa lebih melindungi diriku dan mengingatkanku untuk terus beramal shaleh.
Saya tidak tahu kapan tepatnya hijab yang benar saya lakukan, baik dari niat maupun pelaksanaannya. Sampai sekarang saya merasa semuanya hijab ini belum sempurna dan harus tetap belajar. Yang lebih penting adalah sinkronnya jilbab yang dikenakan dengan hati yang ada di dalamnya dan itu sungguh tidak mudah. Tidak mudah juga bagi saya pribadi berjilbab yang besarnya seperti mukena ini di era sekarang. Dianggap terorislah, susah dapat kerjalah, dan sebagainya. Tapi saya yakin pada ALLAH SWT, dia tidak akan membiarkan hamba-hambaNya. Bukankah rezeki setiap orang telah ditetapkan? . Meskipun sulit tapi saya akan terus bertahan dengan hijab ini. Apa yang diberikan Allah padaku berupa hidayah ini, jauh lebih berharga daripada  apapun. Allah telah menunjukkan beragam cintanya padaku melalui perantara hijab yang kukenakan ini. Dan Alhamdulillah segalanya malah lebih mudah, baik kuliah maupun pekerjaan.  
Antara kuliah dan dunia kerja ada begitu banyak perbedaan. Di dalam kampus, kita bisa saja merasa lebih aman untuk menunjukkan nilai-nilai keislaman kita, tapi di dunia kerja semuanya menjadi lebih sulit. Sebuah kantor bisa saja milik orang tertentu yang mungkin tidak menerima hijab dalam lingkungannya. Pada tahap inilah banyak yang berguguran dalam perjuangan mempertahankan jilbab. Demi alasan kebutuhan dan ekonomi, jilbab pun dengan gampangnya dilepas. Termasuk saya pun merasakan masa-masa penuh ujian ini. Setengah diri ingin menunjukkan balas budi pada orang tua dengan bekerja dan setengah lainnya ingin tetap mempertahankan amalan terhadap sebuah ilmu yaitu mempertahankan jilbab. Alhamdulillah Allah selalu menunjukkan kuasanya pada mereka yang yakin. Saya dengan jilbab seperti ini diberi kesempatan olehNya merasakan dunia kerja yang sesuai dengan bidang saya sendiri yaitu Arsitektur. Meski didominasi oleh kaum adam, sungguh Allah menunjukkan kuasaNya bagi mereka yang yakin, karena akhirnya saya tetap bisa berkarya. “Laa haula wa laa quwwata illa billah- tidak ada daya dan kekuatan melainkan karena pertolongan Allah”. Dan meski setelah 14 tahun, saya tidak boleh berhenti belajar untuk menjadi muslimah yang kaffah. Apa yang saya putuskan dan saya lakukan serta pengorbanan yang sedikit ini tidak akan pernah sebanding dengan para shahabiyah di zaman Rasulullah, sungguh diri ini masih berproses untuk menjadi sebaik-baik wanita akhir zaman. Innallaha ma’ana yaa muslimah-sesungguhnya Allah bersama kita wahai para muslimah. 

4 komentar:

  1. Istiqomah yah istiqomah..

    hehe..sesuai namamu..

    BalasHapus
  2. alhamdulillah yah,,,, karena imannya selalu naik dan naik...

    itu bannernya mengingatkan saya pada tokoh di novel diorama sepasang al-banna :)

    nama blognya juga mirip, pekerjaannya arsitek juga...

    hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha iya juga ya... sebenarnya tidak pernah berniat seperti itu, tapi kalau dipikir2 sepertinya saya terpengaruh juga. Rani yang di Diorama sepasang al banna keren lho... apalagi dapat suami kayak Ryan Fikri,,,wahh mauuu!!!
      novi salam kenal ya... makasih sudah mau komen postinganku...

      Hapus
    2. yippii.. sama-sama :)

      ternyata, kita sama2 penggemar ryan fikri dan rani yah.. :)

      *toss

      Hapus