Halaman

Selasa, 18 September 2012

Beribu Terima Kasih

Tak terasa telah berlalu setengah windu dia tak ada lagi menemani hari-hariku.  Laki-laki ini memberi kontribusi  yang tidak sedikit pada diri dan hidupku.  Aku jadi teringat pada tulisan seorang teman tentang laki-laki pada anaknya. Bisa kukatakan dengan lantang, dia adalah laki-laki pada anaknya.  Dia memang bukan seorang ayah dari seorang anak, tapi bagiku dia adalah bapakku, bapak dalam hidupku.
Masih teringat masa kecil ketika beliau mengingatkanku untuk bekerja keras dalam meraih cita-cita sampai-sampai saat bermain pun harus membawa buku. Dia sungguh jenius. Apa yang sering diceritakan padaku tentang masa sekolahnya yang gemilang bukanlah bualan belaka karena kejeniusan itu tetap melekat pada dirinya bahkan hingga usianya yang uzur. Dia menjadi guruku di rumah, dan turut andil mendidikku hingga aku bisa merasakan peringkat pertama berturut-turut saat SD. Sayang begitu banyak kenyataan pahit dalam hidupnya yang ia hadapi sehingga nasibnya tak berbanding lurus dengan kejeniusannya. 
Kukatakan dia jenius itu tidak bohong kawan... bahkan orang Jepang pun mau mengambilnya ketika saat itu dia sedang bekerja di sebuah perusahaan tambang terkenal di Pomala. Dia juga pernah menemukan (membuat) antena parabola dan kompor listrik yang kala itu produknya banyak dibeli oleh orang sekompleks ketika kami  tinggal di Pabrik Gula Takalar. Antena parabola bapakku berdiri mendominasi  mengalahkan antena-antena impor yang mahal dan hanya bisa dibeli karyawan menengah keatas. Aku masih ingat bahannya sangat sederhana, dari sebuah payung!, sayang aku tidak pernah mengabadikan gambarnya.

Tentang ketulusan, bapakku ini  jagonya.  Dia tak pernah mengeluh mengantarku dengan sepeda motor butut dalam keadaan panas, hujan, sampai banjir. Masih terkenang saat SMP, jika hujan tiba, karena kami tidak punya jas hujan, dia memegang sendiri payung besar dengan tangannya sementara satu tangan lain memegang stir motor.  Hey..jarak dari rumah ke SMP ku sangat jauh, SMP ku di dekat pelabuhan sementara rumahku di kabupaten tetangga yang untuk menggapainya harus lewat jembatan kembar.  Dahulu kukira itu biasa saja, tapi setelah dewasa aku baru sadar tidak banyak orang tua yang bisa sesabar itu direpotkan oleh anak-anaknya. Ketika adik-adikku meminta mengantar ke sana sini, saya sudah lebih dulu marah dan mengeluh.  Dia juga tidak mengeluh saat  di akhir hayatnya dia berjuang luar biasa melawan penyakit kanker paru-paru yang telah menjalar ke  otaknya. Bapakku ini memang seorang perokok yang sangat aktif. Aku sangat ingat ketika rasa sakit yang tidak tertahankan mengganggu dirinya pasca kemoterapi, dia sempat mengatakan sangat  menyesal menjadikan rokok sebagai kawan karibnya.

Bapakku ini sangat menyukai anak kecil. Sama seperti mama (mama angkatku), anak bagi mereka adalah pelita dalam kesunyian.  Aku diambil sejak kecil dan tidak mengerti apa-apa dan saat-saat  terakhir bapak, aku juga masih seorang anak yang belum tahu apa-apa tentang balas budi. Dia tidak melihatku memakai toga sarjana, padahal dialah orang pertama yang sangat senang ketika akhirnya aku dinyatakan lulus pada jurusan arsitektur sebuah universitas negeri di Makassar. Dia tidak lagi melihat perjuanganku setelahnya,  dan yang paling kusesali adalah karena aku sama sekali belum membalas satu pun kebaikannya.

Masih sangat berbekas diingatanku, dia rela menjadi penjaga fotokopi di masa pensiunnya demi bisa menghidupi keluarga, dan kata mama paling utama baginya adalah diriku. Yang penting dia bisa memberiku sekedar uang bensin ke kampus, atau membantu biaya kuliahku. Padahal aku ini siapa?

Ketika seseorang meninggal dunia, semua hal telah terputus kecuali 3 hal, yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang sholeh.  Semoga semua ilmu yang pernah diajarkannya kepadaku tidak putus mengalirkan pahala untuknya juga, dan meskipun aku bukanlah anak kandungnya, doaku untuknya tetap dikabulkan oleh Allah.



*ditulis saat langit Makassar sudah 2 hari tak kunjung cerah
Aku sangat merindukannya... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar