Ada yang mengatakan bahwa berada
di puncak kesuksesan adalah kebahagiaan yang tidak ternilai harganya. Bayangkan
jika semua peluh keringat, lalu air mata yang jatuh saat menjalani prosesnya,
kemudian terbayar lunas dengan sebuah pengakuan “ anda telah berhasil”. Beberapa orang lainnya dengan alasan yang
kadang tidak dimengerti orang lain disekitarnya, tiba-tiba saja meninggalkan
semua yang telah diraihnya, demi sebuah ‘kebahagiaan hakiki’. Mereka mengaku
bahwa kebahagiaan dirinya yang sesungguhnya tidak disitu. Mereka akhirnya
memilih jalan kembali.
Arti kesuksesan memang berbeda
bagi setiap orang. Meskipun begitu, saat-saat sekarang ini kebanyakan orang
mengukur kesuksesan dengan limpahan materi Uang, popularitas, jabatan dan nama
baik, lalu status terpandang di tengah
masyarakat. Tapi bagiku sendiri, bukankah semua itu tampak melelahkan?. Tanpa
disadari kebanyakan orang menjadi budak perkataan orang lainnya. Karena ingin
dinilai sukses, mereka lalu melakukan segenap upaya, bersusah payah, agar cap sukses
melekat pada dirinya.
Aku bersyukur, mengalami episode hidup ini. Tak banyak yang tahu memang perihal kepergianku ke ibu kota. Ada banyak hal yang kualami disini. Dinamika kehidupan ibu kota yang dulu hanya kusaksikan lewat layar kaca, kini kualami sendiri.
Ibu kota Jakarta, bagi orang kampung pemimpi sepertiku, memang sangat 'menyilaukan'. ya orang-orangnya.. ya kompetisinya.. ya gaya hidupnya... saat itu rasanya dengan berada di kota Jakarta, impianku akan terasa semakin dekat. Dan mulalilah aku bertarung, mencari kerja dari satu tempat ke tempat lain, wawancara dari satu perusahaan ke perusahaan lain, pulang pergi naik busway hingga Mayasari 57. Kepergianku kali itu sangat terburu-buru, karena mendapatkan telepon panggilan wawancara, langsung saja aku memastikan langkah pergi, padahal aku belum tahu seberapa bonafit perusahaan itu, ditambah lagi berderai air mata karena keluargaku pada dasarnya tidak begitu setuju. Nekat intinya!. Tapi aku tidak punya pilihan lain, tidak ingin kembali ke tempat kerja sebelumnya, juga di makassar tidak ada peluang.
Ada tiga perusahaan yang memanggilku wawancara, tapi yang paling membekas adalah perusahaan yang kedua, mereka tidak mengizinkan berjilbab. Deggg... ada semacam perasaan hampa yang menggelayutiku saat itu. Hatiku kacau, batinku bergejolak. Lalu sisi lain diriku memintaku kuat, ini baru permulaan. Bukankah sebelumnya penolakan pernah kau alami?Tidak..ini belum seberapa!.
Sejak kejadian itu, aku banyak merenung tentang apa yang sebenarnya aku cari. Mengapa aku harus ke ibu kota? Perang batin terjadi, benarkah dunia yang kukejar, karena ingin seperti teman-teman lain yang sukses mengadu nasib di Jakarta, aku pun jadi ingin seperti itu? hanya untuk menunjukkan aku juga bisa?.. lama pertanyaan ini kubiarkan menggantung tanpa jawaban. Aku pun akhirnya mendapatkan pekerjaan di ibu kota yang waktu itu aku pikirkan untuk sementara saja, agar bisa bertahan hidup di sini, 'nanti baru cari yang lebih sesuai', pikirku.
Lalu, pelajaran itu pun datang.
*bersambung insya Allah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar