Dalam hidupku, ada banyak
yang kukenal bernama Rahma. Rahma adalah nama yang bagus…dan ketiga Rahma yang
akan kuceritakan ini adalah orang baik yang luar biasa. Rahma pertama,
Rahmawati Hasbi, dia seorang sahabat. Kami kenal sejak SMP di SMPN 5 Makassar
dan saya bersyukur sampai sekarang persahabatan itu tetap terjalin malah sudah
seperti saudara. Aku memanggilnya Wati.
Tapi Wati yang biasanya juga dipanggil Rahma
yang ini sifatnya berbanding terbalik denganku, saya yang urakan, nggak rapi,
kadang cerewet dan suka marah-marah, berbanding terbalik dengan dia yang kalem,
adem, ramah luar biasa, dan yang paling penting selama kenal dia tidak
sekalipun kulihat dia marah. Wajar saja banyak yang sayang sama dia, termasuk
saya. Meskipun tumbuh dewasa secara terpisah karena beda SMA dan kuliah,
rasanya kami selalu sehati, soulmate gitu,
dan Alhamdulillah kami sama-sama dianugerahkan hidayah oleh-Nya.
Rahma yang kedua, saya
lupa nama lengkapnya, tapi perannya sangat penting buatku. Dialah perantara
sehingga aku mulai mengenal Islam. Masih jelas diingatanku, saat itu libur
puasa kelas 3 SMA. Kami satu tempat bimbingan belajar. Waktu itu dia adalah
siswa SMAN 5 Makassar. Dialah yang pertama memperkenalkanku pada daurah.
Meskipun setelah daurah tidak lanjut dengan pengajian rutin tiap minggu
dikarenakan sekolahku yang berasrama dan jauh di atas gunung, pengalaman daurah
itulah yang membuatku rindu bermajelis ilmu. Setelah lulus SMA dan menunggu
pengumuman SPMB, saya mencari kembali majelis itu. Majelis yang menenangkan
jiwaku itu.
Dan Rahma yang ketiga, tidak
lain dan tidak bukan saudara seperjuangan LIMIT (Lingkar Studi Mahasiswa Muslim
Teknik). Namanya Siti Rahmadayanti. Dia mahasiswa jurusan Elektro angkatan yang
sama denganku. Kami dipertemukan karena visi yang sama kala itu untuk
menegakkan dakwah di teknik, terutama bagi mahasiswi. Lepas dari almamater pun
ternyata persaudaraan kami masih berlanjut. Dia banyak member masukan, pun kami
berdua tak lupa saling menguatkan. Dan yang paling berkesan adalah saat-saat
perjuangan di Jakarta. Pernah ada masa dimana kami berdua berangkat bersama ke
tempat pengajian. Waktu itu kantongku sangat kering, bahkan untuk pulang ke
rumah uwa’(sapaan om atau tante dalam
bahasanya ibuku) dibilangan Rawamangun dengan busway,uangku masih kurang Rp. 1.000. (NB: Naik busway sekali
jalan=Rp.3.500). Waktu itu kita naik motornya Rahma yang masih ada bensinnya.
Diturunkan di Tamini Square, Rahma ambil alih kendali motor untuk kembali ke
rumahnya di bilangan Jatiasih, Bekasi. Alhamdulillah
meskipun belum gajian dan juga sama sekali tidak punya uang, Rahma tetap memberikan satu-satunya uang di
dompetnya yang bernilai 1.000 rupiah. Kenangan itu sangat berharga. Bukan hanya
itu, Rahma lah orang yang tak lupa memberi masukan dan tetap menasehatiku.
Jazakillah khair untuk Rahma, Rahma, dan
Rahma…semoga ALLAH membalas kebaikan kalian semua padaku. Dan kelak kita
dipertemukan dalam Jannah-Nya, dan membuat para syuhada iri lantaran
persaudaraan ini adalah karena ALLAH.
baru baca ini..
BalasHapusistiiii...