Dalam jurusan
Policy and Planning Science, bidang keilmuannya
dibagi menjadi 3; Assets and
Resources, Space and Environment, dan Organization Behavior. Nah..urban
planning masuk di antara Space and Environment dan Assets and Resources,
membingungkan ya? Saya juga bingung kenapa dibuat serumit ini. Awalnya saya pikir perencanaan kota tidak akan
jauh dari arsitektur kota, tapi ternyata masalah kota lebih kompleks dan ketika
menjalani semester pertama, saya tidak hanya belajar urban planning semata tapi
juga sejarah, ekonomi, analisis data, dan banyak lagi.
Satu yang
spesial dari sistem perencanaan kota di Jepang yaitu machizukuri dimana
masyarakat haruslah dilibatkan dalam prosesnya. Sebelum merevitalisasi sebuah
kawasan, perencana dan pemerintah setempat akan mengadakan forum untuk mendengarkan
keinginan dan pendapat warga. Yang saya lihat, mereka sangat serius dalam
membangun kota yang benar-benar akan dinikmati penghuninya, tidak hanya berdasarkan
politik ego-sentris maupun keuntungan ekonomi semata seperti yang banyak
terjadi di kota-kota di Indonesia. Adanya machizukuri ini juga menjadi salah
satu alasan saya memilih Jepang untuk belajar. Negara ini juga punya hubungan
historis dengan Indonesia, sehingga infrastruktur pun terdapat banyak kemiripan.
Memasuki perkuliahan memberikan pengetahuan tambahan bagi saya bahwa apa yang
dialami kota-kota di Indonesia sekarang ini pernah dialami Jepang pada tahun
1970an.
Saya sempat
mengambil kelas Urban Risk Management.
Kelasnya menarik, terlebih saat kebagian grup Evacuation Plan
bersama 3 orang Jepang asli dan 1 orang Estonia. Kami memilih Nihonbashi
Chuo-ku Kabuto-cho dan Adachi-ku Senju 2-chome. Kalau bukan karena tugas
kampus, mungkin tidak akan pernah tahu rasanya menjelajahi sudut-sudut
Tokyo. Kalau saya hanya sekedar plesiran ke tempat-tempat terkenal yang dibawa pulang hanya foto dan lelah. Saya
jadi tahu banyak tentang permasalahan kota di Jepang dan betapa antisipatifnya
mereka terhadap bencana. Ada satu
kejadian memalukan saat mengunjungi Kabuto-cho.
Wilayah ini dipadati dengan gedung-gedung high-rise tapi jalan
lingkungannya sangat sempit padahal
densitasnya tinggi. Saya
mengusulkan supaya kita melakukan uji coba, dari titik A ke titik B berapa
waktu yang dibutuhkan untuk mencapainya
sebagai simulasi jika ada bencana terjadi, tapi teman Jepang saya bilang,
‘karena tarik garis di Google Map dari sini ke sana bisa ditahu waktunya, jadi
tidak perlu simulasi’, arrgh…malunya.. saya lupa kalau ini negara maju yang
informasi geospasialnya tidak perlu diragukan, ‘dasar dari negara
berkembang’, celetuk saya dalam hati.
Mata kuliah lainnya
yaitu dari Sensei, ‘History of Urban Built Environment’. Disini kami ada grup work lagi, tapi
sebelumnya 2x kelas sensei diadakan di luar kelas, mengunjungi kawasan konservasi yang ada di Tsukuba dan sekitarnya.
Jepang sungguh luar biasa dalam mempertahankan kekayaan budayanya termasuk
rumah-rumah tradisional. Saat itu grup saya adalah satu-satunya grup yang
anggotanya tidak bisa berbahasa Jepang. Tugasnya adalah mengobservasi kawasan konservasi di Jepang, karena tidak
tahu sama sekali, Sensei memilihkan Makabe untuk kami. Makabe dulunya adalah joka-machi (castle town) dan letaknya di Sakuragawa city, 40 menit naik mobil dari Tsukuba. Field survey
kali ini sebenarnya adalah kali kedua saya mengunjungi Makabe. Yang pertama
bersama Sensei dan 3 orang teman lab,
menjadi relawan merekonstruksi sebuah rumah tradisional yang hancur pasca gempa
besar 2011 lalu. Kali kedua saya datang
kota kecil itu tidak seramai ketika pertama kali mengunjungi, ternyata hanya
ramai jika ada festival. Hal penting yang kami dapatkan dari tempat ini adalah
betapa totalnya pemerintah Jepang menjaga asset budaya, menjadikan daerah
tersebut dan rumah-rumah ‘Machiya’ gaya era Edo dan Meiji didalamnya tetap
berdiri sampai sekarang meskipun mereka menghadapi kendala utama yaitu menghidupkan
kota yang populasinya terus menurun.
Kelas Urban
regional Analysis yang baru saja saya
ambil di Fall Semester 2014 ini juga tidak kalah seru. Kembali dibagi menjadi
kelompok-kelompok, saya dan 2 teman Nihon-jin (sebutan untuk orang Jepang) kebagian menganalisis keadaan inner city Ishioka,
sekitar 40 menit dengan mobil dari Tsukuba. Ishioka adalah salah satu kota
penting di Jepang pada zaman Edo juga menjadi salah satu venue perhelatan
Olimpiade 1964. Seperti yang sudah saya duga, kota ini pun lumayan sepi.
Penurunan populasi memang menjadi masalah besar sekarang ini di Jepang, setiap
pemerintah kota harus berupaya maksimal membuat orang-orang mau datang dan
menetap di kotanya, sehingga kota menjadi hidup dan tidak hanya diisi oleh
orang-orang lanjut usia. Yang menjadi pusat perhatian field survey kami adalah
stasiun Ishioka, BRT (Bus Rapid Transit) system, dan 看板建築 (Signboard Architecture). Tentu saja kami harus mengunjungi tempat
tersebut untuk merasakan langsung suasana kota, dan ternyata permasalahan kota
ini tersandung pada tidak adanya konektivitas antara stasiun Ishioka dan arsitektur
uniknya (看板建築).
Berjalan kaki dari stasiun ke historical
(看板建築)site
kami tidak menemukan infrastruktur yang sudah baik tersebut dipergunakan
sebagaimana mestinya, tidak ada orang yang berjalan maupun bersepeda, padahal
jalan tersebut jalan penghubung yang paling strategis. Hingga saya menuliskan
ini, kami masih mencari solusi perencanaan yang baik untuk ‘menghidupkan’ kota Ishioka.
Pengalaman tidak
kalah seru lainnya ketika alhamdulillah saya
diikutkan Sensei dalam penelitian beliau mengenai arsitektur tradisional pulau
Amami. Pulau Amami terletak di perfektur Kagoshima, secara geografis letaknya sangat dekat dekat Pulau Okinawa yang terkenal itu, di daerah paling selatan Jepang. Kondisi alam pulau Amami lumayan mirip Indonesia, namun tentu saja alam
Indonesia jauh lebih cantik. Kami meneliti pola spasial permukiman warga di
Desa Ushiku dan tugas kami menggambar layout rumah-rumah tradisional yang ada
disana. Dari perjalanan ini, saya tahu bagaimana penelitian terkait arsitektur
tradisional dilakukan di Jepang. Seperti yang saya ungkapkan diawal, Jepang
tidak hanya unggul dengan kemajuan teknologinya tapi juga kesungguhan mereka
dalam mempertahankan aset atau kekayaan asli bangsanya. Di Jepang, kemajuan
teknologi membentuk harmoni yang serasi dengan kekayaan budaya dan keunikan
alamnya. Penelitian ini akan digunakan kelak jika pemerintah Jepang ingin menjadikan
site ini sebagai wilayah konservasi.
Jika pernah
dengar istilah CBD, maka salah satu CBD (Central Business District) di Tokyo
adalah kawasan Otemachi-Marunouchi-Yurakucho. Gabungan tiga wilayah di sekitar
Tokyo Metro Station ini merupakan salah
satu pusat ekonomi Jepang, dan disinilah high-rise
building banyak didapati juga perusahaan multinasional dan kantor media
massa Jepang berpusat. Kami mempelajari
wilayah ini pada mata kuliah Urban Renewal and Project Area Management. Patut diacungi jempol betapa ketat namun
perhatiannya pemerintah Jepang terhadap penataan kota. Tidak tanggung-tanggung,
jika sebuah gedung dirasa tidak sesuai
dengan konsep skyline kota, si pemilik harus mengubahnya. Hal lain lagi, mereka
sangat menghormati sejarah dan menginginkan unsur historis tidak hilang
meskipun di wilayah tersebut cenderung adalah kota modern. Kuliah dibawakan
oleh para Eksekutif dari Mitsubishi Development dan The Council for Area Development and Management of
Otemachi-Maronouchi-Yurakucho. Salah
satu contoh rule yang diterapkan adalah oleh kantor Mitsubishi itu sendiri
dimana mereka mengembalikan fasad lantai dasarnya menjadi sama persis ketika
kantor tersebut didirikan berpuluh tahun yang lalu. Kawasan ini ingin
menyatukan konsep kekinian dan konservasi sejarah.
Awalnya saya
memilih arsitektur karena saya suka mengkhayal, suka membayangkan sesuatu, suka
merencana. Semakin kesini saya semakin
sadar, perencanaan bukanlah pekerjaan
mudah, planning is unfinished work, bahkan jika rancanganmu telah selesai
dibangun, dari situlah assessment yang sesungguhnya dimulai, berhasil atau
tidak. Dalam arsitektur apalagi tata kota, seorang perencana dituntut punya
pengetahuan yang luas. Bisa jadi akan sedikit mempelajari psikologi, ekonomi, mobilitas, sistem transportasi, sosiokultural, kebijakan dan politik. Terlalu luas dan kompleks sebenarnya,
tapi tugas perencana adalah membuat sesuatu
yang ditempati manusia dan memastikan produk buatannya tersebut benar-benar mendatangkan
manfaat yang baik dan nyaman untuk dihuni.
Perencanaan bukanlah pekerjaan mudah. Saya sepakat dengan hal itu Isti. Dan memang, kriteria "sukses" dari apa-apa yang telah terkonsep bukanlah ketika konsep tersebut telah dibangun. Namun, pada efek, hubungan timbal balik dengan lingkungan sekitarnya bertahun-tahun ke depan.. Arsitektur adalah passion yang berhubungan erat dengan jiwa. Ia adalah pekerjaan yg tak pernah berhenti tuk sekadar "selesai"..
BalasHapusSepakat Kak! Meskipun rumit dan kompleks tetap sangat menyukai Arsitektur
Hapusmasih mempelajari dan menggali dulu nih ,
Hapusassalamualiakum ka isti salam kenal saya hanifa, ka saa mau bertanya bagaimana cara mendapatkan sensei untuk melanjutkan kuliah S2 di jepang ? terimakasih ka
BalasHapussilahkan baca postingan saya ini, semoga berhasil!
Hapushttp://istiqamahsyawal.blogspot.co.id/2014/11/step-by-step-kuliah-s2-di-jepang-part-1.html
Selain universitas tersebut adakah saran universitas lain dijepang yang menawarkan jurusan perencanaan Wilayah dan kota/ planologi?
HapusSalam kenal kak. Saya Agung Alif Pratama dari PWK UNHAS 2016. Apakah salah kak kalau lebih memilih kuliah S2 di Indonesia daripada luar negeri?
BalasHapusNice post
BalasHapusTerimakasih untuk sharingnya mba isti. Doakan agar sayapun juga bisa berkuliah urban planner di Jepang. Aamiin
BalasHapusSalam kenal kak. Blognya sangat memotivasi dan telah memberikan saya banyak ilmu tentang profesi seorang planner, terimakasih :)
BalasHapusAssalammu'alaikum mba, salam kenal. Sebelumnya terimakasih atas sharingnya, mau tanya mba s2 di jepang beasiswa atau tidak ya? Kalau beasiswa bisa tolong share ceritanya atau link terkait? Terimakasih
BalasHapus