Hari itu saya pikir semua akan berjalan seperti biasa, pergi kantor dan bekerja seperti biasa. Tapi ternyata saya salah, hari itu tidak berjalan biasa bagi teman-teman sekantorku yang ingin mencoba peruntungan menjadi PNS. Mereka sangat sibuk. Sebagian izin setengah hari untuk mengurus semua kelengkapan administrasi yang dibutuhkan. Lalu tanpa sengaja saya melihat ijazah milik teman saya tersbut. Saya begitu kaget melihat fotonya yang tidak berjilbab.
Saya pun menanyakan kapan dia mulai berjilbab, dia pun menjawab sudah lama. Seolah mengerti maksud pertanyaan saya, dia pun menambahkan bahwa pihak fakultas mengharuskan foto ijazah yang memperlihatkan telinga. Saya sontak terpaku, dalam hati bergumam, 'apa sampai saat ini berjilbab di foto ijazah masih dipermasalahkan?' . Saya pun memutuskan untuk tidak melanjutkan percakapan itu lagi, saya takut teman saya ini tersinggung.
Persoalan semacam ini di negeri yang katanya mayoritas muslim sungguh membuat saya bingung setengah mati. Bukankah Indonesia adalah negara dengan populasi musllim terbesar di dunia? bagaiamana jadinya di negara lain, kalau di Indonesia saja sampai detik ini yang berjilbab masih sering mengalami tindakan diskriminasi.
Membahas tentang foto berjilbab di ijazah. Dua orang adik saya saat tamat di sebuah SMK pernah mengalami hal serupa yang dialami teman saya tadi. Gurunya beralasan, 'nanti kamu susah dapat kerja', katanya lagi terlihat telinga itu untuk mengetahui bahwa kamu tidak cacat. Alasan ini menggelitik logika saya. Soal alasan yang pertama, dapat kerja atau tidak itu adalah persoalan rezeki Allah pada diri kita, bukan karena persoalan jilbab. Lagipula selepas SMA, apa guru yang melarang ini mau memperhatikan kita lagi? apa dia akan peduli dengan apa yang terjadi pada diri kita selepas tamat? saya yakin jawabannya tidak, kalaupun ada mungkin hanya 0,000001 % yang seperti itu. Setiap manusia akan sibuk dengan dirinya sendiri dan pada akhirnya kitalah yang merugi karena mengganggap remeh jilbab. Alasan yang kedua lebih tidak masuk akal lagi. Bukankah orang-orang tuli pada umumnya mempunyai daun telinga?. Sebenarnya dari mana pemikiran seperti itu. Kita sekolah, kita sarjana, tapi mengapa tidak mampu berpikir lebih cerdas?.
Soal jilbab yang masih mendapatkan diskriminasi, saya juga punya cerita lain. Saat itu saya melamar untuk sebuah perusahaan produk interior ternama di daerah Jakarta Selatan. Saat dipanggil wawancara, saya pun datang apa adanya. Begitu memasuki gerbang dan melapor di pos satpam, perasaan saya sudah tidak enak. Baru kali ini ada pos satpam yang tidak ramah. Soal itu saya cuek saja, toh dia bukan bosnya. Sampai di dalam ternyata resepsionisnya tidak kalah dengan Pak Satpam. Malah mereka melihat saya dari ujung kaki sampai ujung kepala seolah-olah saya ini orang aneh. Jangan harapkan sambutan hangat ala resepsionis. Saya pun menceritakan maksud kedatangan saya bahwa saya dipanggil kesini untuk wawancara. Singkatnya saya pun tahu bahwa pemilik tempat ini tidak menerima jilbab, bahkan si resepsionis sendiri mengakui bahwa dia sebenarnya berjilbab, tapi jika bekerja jilbab pun dilepas. Saat wawancara dimulai, pertanyaan pertamanya adalah 'Mbak sudah lama berjilbab?', saya jawab 'Ya, sudah lama, sejak kelas 5 SD. Mm..disini katanya nggak boleh berjilbab ya Bu?', ibu itu pun menjawab ' he-eh iya mbak', tanpa pikir panjang saya pun mengakhiri sendiri wawancara itu , 'Kalau begitu saya mundur saja Bu, saya tidak bisa buka jilbab seperti yang perusahaan ini minta, terima kasih sudah mengundang saya'. Saya pun pergi dan melangkah dengan cepat. Si Pak Satpam masih tetap dengan mimik jutek tanpa senyumnya. Saya membesarkan hati, Insya Allah ada tempat yang lebih baik dari tempat ini.
Sampai saat ini, saya terus berpikir keras, sebegitu buruknyakah jilbab?. Mengapa orang berjilbab selalu dimasukkan dalam kotak kecil yang terpinggirkan? padahal soal bersaing ataupun kompetensi kami pun tidak bisa dikatakan bodoh. Meskipun yah mungkin banyak juga yang jilbabnya masih 'bongkar pasang', tapi itu tidak boleh jadi alasan untuk mencibir pemakai jilbab. Mendapatkan hidayah itu sungguh istimewa, sulit, eksklusif karena tidak semua orang diberi. Yang masih 'bongkar pasang' pun boleh jadi dia sedang dalam proses belajar.
Dua hal tadi baru soal ijazah dan pekerjaan, kenyataannya banyak hal lain yang mendiskriminasi para jilbaber, contohnya tempat wudhu di mushalla-mushalla Mal, seringkali dibuat terbuka, sehingga kami tidak mungkin wudhu disitu, dan lebih memilih toilet.
Sekarang-sekarang ini jilbab juga sering dipolitisi dan direndahkan. Lihat saja acara-acara berita di TV tentang koruptor atau pesakitan yang sedang berurusan dengan polisi. Tolong perhatikan yang perempuan, tidak perlu saya sebutkan namanya, mereka telah diketahui bukanlah wanita berjilbab, tapi kemudian saat mereka ditangkap, dan diwawancarai di media, mereka menggunakan jilbab bahkan hingga tahap ekstrim, bercadar!. Mengapa saat tertangkap? mengapa saat dinyatakan bersalah lalu mereka menggunakan jilbab? lalu ketika dibebaskan mereka membukanya lagi. Coba bayangkan jika orang asing menonton berita tersebut, mereka beranggapan orang-orang berjilbab itu jahat dan kriminal. Memang tidak selamanya mereka yang berjilbab jauh lebih baik dari yang tidak berjilbab. Begitu banyak kita lihat contohnya di masyarakat ini. Tapi sekali lagi saya tidak membicarakan jilbab yang memang hanya selembar kain, saya disini membicarakan jilbab yang merupakan perintah Allah dan simbol muslimah. Mungkin ilmu dan hikmah tentang jilbab belum sepenuhnya meresap kedalam hatinya sehingga mudah saja melakukan hal yang tidak patut. Lihatlah jilbab sebagai simbol keta'atan dan apa yang dilakukan pemakaianya adalah tanggung jawabnya pribadi dengan Allah azza wa jalla. Saya sepenuhnya berharap suatu saat nanti jangan lagi ada pemaksaan kehendak dan diskrimanasi kepada pemakai jilbab. Jilbab itu hak setiap muslimah, jalan hidup yang dipilihnya, bukan hanya soal selembar kain.
Allah...mohon kuatkan kami.
Makassar, 10 oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar