POLA PERILAKU DAN LINGKUNGAN
BEHAVIORAL SETTING
‘Tidak ada tempat dimanapun saat manusia berkumpul
bersama dalam waktu yang lama, kecuali mereka akan saling menunjukkan efisiensi
dalam pembelajaran yang sulit dan berusaha untuk berinteraksi secara harmonis’
Carol Wenstein,1979
Manusia
tidak dapat lepas dari lingkungannya. Setiap aspek dalam kehidupan manusia
selalu berada dalam lingkungan tertentu. Hal ini merupakan salah satu indikasi
bahwa manusia memang tak bisa lepas dari lingkungan.
Pola perilaku
manusia sedikit banyak juga ditentukan oleh keadaan lingkungan sekitarnya.
Lingkungan memiliki peran penting dalam membentuk karakter manusia. Lingkungan
juga dapat menjadi sarana bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Tidur,
bekerja, rekreasi, ibadah dan berbagai aktivitas lainnya membutuhkan ruang atau
lingkungan. Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, terlihat adanya pola perilaku
penggunanya. Barker seorang tokoh
psikologi ekologi yang mengembangkan penelitian perilaku individual di
lapangan,bukan di laboratorium seperti pada umumnya perilaku psikologi
tradisional, menelusuri bahwa pola perilaku manusia berkaitan dengan tatanan
lingkungan fisiknya, dan melahirkan konsep ‘tatar perilaku’ (behavior setting).
Behavior setting terjadi pada pertemuan antara individu dan lingkungannya.
Seorang arsitek melalui pengamatan behavior
setting dalam perencanaan proyek
tertentu dapat membantu untuk mengenal system social dari dalam setting, dalam arti melihat pola-pola
perilaku sistematis yang ditunjukkan oleh penghuni lingkungan tertentu. Dengan
demikian, hasil pengamatan ini dapat memperluas wawasan pengetahuan arsitek
tentang manusia dari perspektif yang berbeda bukan dari teori semata.
A.
Unit
Tatar Perilaku (Behavior Setting)
Lingkungan
fisik terdiri atas seperangkat permukaan dengan berbagai kualitas. Meskipun
kadang kala lingkungan dirancang untuk tujuan estetika semata, pada umumnya
tujuan perancangan suatu lingkungan adalah guna memenuhi aktivitas tertentu.
Perancangan
suatu lingkungan adalah untuk memenuhi aktivitas tertentu. Salah satu cara bagi
para perancang lingkungan untuk memenuhi tuntutan aktivitas tersebut adalah dengan mengacu pada system aktivitas
yang terdiri atas suatu sirkuit perilaku .
“apa
yang dinyatakan oleh suatu sirkuit perilaku adalah ergonomic antropologis,
membawa perilaku orang menuju pemenuhan kebutuhannya sehari-hari pada berbagai
skala:ruangan, rumah, blok, lingkungan, kota, untuk mempelajari sumber-sumber
mana–manusia dan lingkungan fisik-yang diperlukan untuk mendukung atau memenuhi
kebutuhannya”
1. Definisi Behavior Setting
Roger
Barker dan Herbert Wright memakai istilah behavior
setting untuk menjelaskan tentang kombinasi perilaku dan milieu tertentu, Salah satu contoh, ketika seorang
dosen menyiapkan suatu perkuliahan, atau seorang direktur menyusun agenda rapat
tim direksinya, maka setiap orang bertindak untuk memastikan akan keberadaan
suatu behavior setting. Pada setiap
kasus tersebut, direncanakan adanya serangkaian aktivitas bersama orang lain
ketika terdapat sejumlah pola perilaku tertentu yang dikombinasikan dengan
objek tertentu dalam batasan ruang dan waktu tertentu. Behavior setting didefinisikan sebagai suatu
kombinasi yang stabil antara aktivitas, tempat, dan kriteria sebagai berikut:
a.
Terdapat
suatu aktivitas yang berulang, berupa suatu pola perilaku (standing pattern of behavior). Dapat terdiri satu atau lebih pola
perilaku ekstraindividual.
b.
Dengan
tata lingkungan tertentu (circumjacent
milieu), milieu ini berkaitan
dengan pola perilaku
c.
Membentuk
suatu hubungan yang sama antara keduanya (synomorphy).
d.
Dilakukan
pada periode waktu tertentu
Istilah
ekstraindividual menunjukkan fakta
operasional bahwa sebuah setting tidak bergantung hanya pada seorang manusia
atau objek. Dalam setting bisa jadi dibentuk oleh pengganti karena dalam
hal ini tidak ada objek atau lokasi yang sedemikian pentingnya sehingga tidak
tergantikan. Yang penting adalah konfigurasi secara keseluruhan, bagian per
bagian.
Istilah
circumjacent milieu merujuk pada batas fisik dan temporal dari
sebuah setting. Setiap behavior setting berbeda dari setting lainnya menurut
ruang dan waktu. Sementara itu, istilah synomorphic
berarti ‘struktur yang sama’ menunjukkan adanya hubungan antara milieu dan perilaku.
2.
Pola
Perilaku
Suatu
pola perilaku biasa terdiri dari atas
beberapa perilaku secara bersamaan, antara lain sebagai berikut:
a.
Perilaku
emosional
b.
Perilaku
untuk menyelesaikan masalah
c.
Aktivitas
motorik
d.
Interaksi
interpersonal
e.
Manipulasi
objek
Kombinasi dari perilaku
tersebut di atas membentuk suatu pola perilaku , terjadi pada lingkungan fisik
tertentu atau pada milieunya.
Suatu behavior setting mempunyai struktur internal sendiri. Setiap orang
atau kelompok berperilaku berbeda karena masing-masing mempunyai peran yang
berbeda-beda. Misalnya, didalam sebuah kelas, guru mempunyai peran sebagai
pengajar, ia menempati posisi tertentu di muka kelas, misalnya berupa panggung
untuk memungkinkan ia melihat seluruh kelas dan mengendalikan pola perilaku yang
terjadi. Dari contoh di atas, dapat kita katakan bahwa struktur behavior setting dibedakan berdasarkan siapa yang memegang
kendali aktivitas.
Barker menamakan daerah
yang ditempati oleh pengendali atau pemegang control sebagai performance zone. Namun, tidak semua
tatanan mempunyai performance zone, atau
tidak semua performance zone dibedakan
desainnya secara arsitektural. Misalnya, ruang diskusi atau ruang rapat.
Tatanan fisik bagi pimpinan rapat sama dengan peserta rapat lainnya
Gambar
diatas merupakan salah satu contoh interaksi yang terjadi berdasarkan pola
perilaku. Dalam toko terdapat serangkaian kejadian yang berurutan , sebuah
program yang meliputi perilaku membeli dan menjual. Perilaku ini membentuk pola
perilaku yang berulang-ulang, tidak hanya bagi seorang pembeli, tetapi juga
suatu program yang berlaku bagi setiap pembeli dan penjual pada toko tersebut.
Hubungan
kesetaraan (synomorphy) yang terjadi
pada gambar diatas cukup rumit. Andil pembeli terhadap pola perilaku yang
terjadi di took meliputi mencari dan memilih barang. Lemari-lemari panjang
memamerkan sejumlah makanan untuk proses mencari dan memilih tersebut. Disisi
lain, pedagang yang menata dagangannya harus mempunyai akses langsung dengan
barang dagangannya. Akan tetapi, milieu
yang ada juga harus memungkinkan terjadinya interaksi antara pembeli dan
pedagang, bukan didesain untuk kepentingan pembeli dan pedagang saja. Artinya
lemari panjang itu memungkinkan terjadinya interaksi antara pedagang dan
pembeli.
Contoh
diatas menggambarkan betapa kompleksnya perilaku manusia yang harus diwadahi
oleh suatu tatanan fisik dan terlihat bahwa setiap behavior setting terdiri atas beberapa sub perilaku yang lebih
sederhana.
Untuk
mengetahui sejauh mana interdependensi antara dua entitas yang masing-masing
mempunyai atribut untuk menjadi behavior
setting, dapat dilakukan pengujian yang ditinjau dari berbagai dimensi,
meliputi:
a.
Aktivitas
b.
Penghuni
c.
Kepemimpinan
Dengan
mengetahui posisi fungsional penghuni , dapat diketahui peran sosial yang ada
dalam komunitas tersebut. Di banyak setting,
posisi pemimpin dapat dipisahkan agar dapat dikenali kekuatan-kekuatan lain
yang ada yang ikut mengambil bagian dalam setting
tersebut.
d.
Populasi
Sebuah
setting dapat mempunyai sedikit atau banyak
partisipan. Komunitas dianggap lebih baik apabila memiliki banyak setting.
e.
Ruang
Ruang
tempat terjadinya setting tentu sangat beragam, bisa di ruang terbuka
atau ruang tertutup
f.
Waktu
Kelangsungan
sebuah setting dapat terjadi secara rutin atau sewaktu-waktu
saja. Misalnya, apel pagi tentara yang dilakukan setiap pagi atau sebuah
perayaan upacara tujuh belas Agustus.
Durasi
pada setting yang sama dapat berlangsung sesaat atau terus menerus sepanjang
tahun, misalnya pertokoan.
g.
Objek
h.
Mekanisme
perilaku
Barker menguraikan sebelas
pola aksi dalam setting, yang dapat
segera diamati atau dicatat, ada ataupun tidak ada dalam setting tersebut,
yaitu berkaitan dengan Estetika, Bisnis, Pendidikan, Pemerintahan, Nutrisi, Aksi
social, Penampilan personal, Kesehatan masyarakat, Professional, Rekreasi ,Religious.
Setting
juga dapat diamati dari sisi kuatnya tekanan
pada orang yang berpartisipasi. Adakah otonomi yang dimiliki setting terhadap pengaruh dari luar?
Seberapa jauh setting ini mampu melayani kebutuhan berbagai populasi sub group,
atau biasa disebut sebagai kesejahteraan anggotanya? Manfaat dari pengujian
semacam ini adalah mempersatukan berbagai minat kedalam suatu behavior setting yang terencana dengan baik sehingga respons penghuni
dapat terantisipasi dan terkendali dengan baik.
B.
Batas
Behavior S setting
Batas
suatu behavior setting adalah dimana perilaku tersebut berhenti. Ada
beberapa kemungkinan untuk pembatas ini. Batas yang ideal adalah batas yang
jelas seperti sebuah dinding massif. Dinding pembentuk batas yang jelas
merupakan batas akhir suatu setting dan batas awal setting lainnya. Apabila batas dari suatu behavior setting tidak jelas
maka masalah yang muncul adalah tidak jelasnya pemisahan aktivitas, terutama
apabila sebagian aspek dalam pola perilaku harus dipisahkan dengan yang
lainnya. Misalnya aktivitas didalam ruang kelas ketika pemisahan visual antara beberapa aktivitas
mungkin tidak perlu dilakukan , tapi pemisahan secara audial menjadi sangat
diperlukan.
Kadang-kadang
juga terjadi bentrokan antara nilai estetika arsitek dan kebutuhan demi
kelangsungan sebuah aktivitas, antara ideology bagaimana seharusnya sesuatu
ditata menurut arsitek perancangnya dan kenyataan perilaku manusia penggunanya.
Misalnya, dalam perancangan ruang kerja. Idealisme membuat ruang kerja terbuka
dengan tatanan ala lansekap, akan berhadapan dengan kebutuhan dan preferensi
penggunanya, terutama dalam berinteraksi dengan sesama. Kerap kali ruang kerja
itu dirancang lebih fleksibel daripada fleksibilitas perilaku manusianya.
Sebaliknya terlalu banyaknya dinding pembatas juga akan menimbulkan masalah
bagi penggunanya karena sukarnya pengguna berinteraksi dengan sesama.
Dari
uraian mengenai behavior setting tersebut jelas bahwa beberapa objek berfungsi
membentuk batas spasial dan objek lain berfungsi mendukung pola aktivitas yang
terjadi didalamnya. Objek pembentuk batas spasial mempunyai hubungan
circumjacent dengan perilaku, yaitu objek pembatas mengelilingi perilaku,
sedangkan pada jenis objek yang kedua yaitu sebagai pendukung pola aktivitas,
perilaku mengelilingi objek.
1.
Sistem
Aktivitas
Sistem
aktivitas dalam sebuah lingkungan terbentuk dari rangkaian sejumlah behavior setting.Sistem aktivitas
seseorang menggambarkan motivasi, sikap, dan pengetahuannya tentang dunia
dengan batasan penghasila, kompetensi, dan nilai-nilai budaya yang bersangkutan
(Chapin dan Brail,1969;Porteus,1977).
Dalam
pengamatan behavior setting,dapat
dilakukan analisis melalui beberapa cara antara lain sebagai berikut:
a.
Menggunakan
time budget
Time budget memungkinkan orang mengurai/
mendekomposisikan suatu aktivitas sehari-hari, aktivitas mingguan,atau musiman,
kedalam seperangkat behavior setting yang
melliputi hari kerja mereka atau gaya hidup mereka (Michelson dan Reed,1975).
Fungsi dari time budget adalah untuk memperlihatkan bagaimana seorang
individu mengkonsumsi atau menggunakan waktunya.
Informasi
ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
(i).
jumlah waktu yang dialokasikan untuk kegiatan tertentu dengan variasi waktu
dalam sehari,seminggu, atau semusim.
(ii)
frekuensi dari aktivitas dan jenis aktivitas yang dilakukan
(iii)
pola tipikal dari aktivitas yang dilakukan
Melalui
informasi ini, selain dapat diketahui fasilitas apa saja yang paling diminati,
layanan yang diperlukan, khususnya di area transportasi, area rekreasi, atau
perencanaan tata guna lahan, juga dapat dianalisis bentuk organisasi yang ada.
b.
Melakukan
sensus
Sensus
adalah istilah yang dikemukakan para ahli psikologi lingkungan untuk
menggambarkan proses pembelajaran semua aktivitas seorang individu dalam waktu
tertentu dengan metode pengamatan. Seperti yang dilakukan Barker dan Wright
dengan mengamati perilaku seorang anak sepanjang hari. Cara ini dipakai dengan
tujuan mendapatkan pengertian mengenai,misalnya bagaimana para pekerja
menggunakan sebuah bangunan.\
Hal
yang dapat mewakili data pengamatan behavior
setting meliputi:
(i)
Manusia
(siapa yang dating,kemana dan mengapa, siapa yang mengendalikan setting?)
(ii)
Karakteristik
ukuran (berapa banyak orang per jam ada di dalam setting, bagaimana ukuran setting
secara fisik, berapa sering dan berapa lama setting itu ada?)
(iii)
Objek
(ada berapa banyak objek, dan apa jenis objek yang dipakai dalam setting,kemungkinan apa saja yang ada
bagi stimulasi, respon, dan adaptasi?)
(iv)
Pola
aksi (aktivitas dan apa yang terjadi disana, seberapa sering terjadi
pengulangan yang dilakukan orang?)
c.
Studi
Asal dan Tujuan
Studi
asal dan tujuan adalah suatu studi yang mengamati, mengidentifikasi awal dan
akhir pola-pola pergerakan. Studi semacam ini menggambarkan pola perilaku yang
sesungguhnya terjadi, bukan hanya seperti yang dibayangkan oleh arsitek,
melainkan yang membentuk kehidupan seseorang atau sekelompok orang.Studi asal
dan tujuan merupakan pendekatan makro yang dapat diterapkan pada skala urban
atau skala bangunan.
Rancangan
yang dibuat semata-mata berdasarkan imajinasi arsitek yang sering kali menjadi
rancangan yang ideal bagi arsitek, tetapi mungkin miskin akanaffordances dan peluang-peluang bagi
seorang pengguna untuk memenuhi kebutuhannya.
Ada
hubungan timbale balik antara individu dan system perilaku yakni karena manusia
adalah bagian dari behavior setting yang memberi kontribusi pada behavior
setting. Akan tetapi ia juga didukung oleh behavior setting dalam berperilaku.
2.
Aktivitas
dan perilaku
Behavior setting sebagai suatu kesatuan cenderung lebih
memaksa dibandingkan dengan pola perilaku atau milieu itu sendiri. Disini, Barker, sebagai pencetus konsep behavior setting mengemukakan gagasan
yang kontradiktif. Disuatu sisi, ia mengatakan bahwa lingkungan non social,
lingkungan ekologi, bukanlah demand
behavior. Akan tetapi, disisi lain, ia menerima konsep psikologi Gestalt mengenai persepsi physiognomic, yaitu milieu mempunyai demand
quality. Ada tuntutan tertentu seperti ruang terbuka yang merancang seorang
anak untuk berlarian. Hal ini dijelaskan dalam konsep Kurt Lewin mengenai
kualitas yang mengundang (invitational quality)
Kekuatan
sosial mempunyai peran kuat dalam menentukan perilaku seseorang atau sekelompok
orang.
3.
Behavior setting dalam desain
DAlam
berbagai argumentasi dikatakan bahwa desain behavior
setting yang baik adalah yang sesuai
atau pas dengan struktur perilaku penggunanya. Desain arsitektur disebut suatu
proses argumentatif. Argumentasi dilontarkan dalam membuat desain yang dapat
diadaptasikan, fleksibel, atau terbuka (open
ended). Edward Hall mengidentifikasi tiga tipe dasar pola ruang sebagai
berikut:
a.
Ruang
Berbatas Tetap (fixed feature space)
Ruang
berbatas tetap dilingkupi oleh pembatas yang relative tetap dan tidak mudah
digeser, seperti dinding massif, jendela, pintu, lantai.
b.
Ruang
Berbatas semitetap (semifixed feature
space)
Ruang
yang pembatasnya bisa berpindah. PAda rumah-rumah tradisional Jepang misalnya,
dinding dapat digeser untuk mendapatkan setting
yang berbeda sesuai dengan kebutuhan
dan pada waktu yang berbeda. Ruang-ruang pameran yang dibatasi oleh partisi
yang dapat dipindahkan ketika dibutuhkan setting yang berbeda.
c.
Ruang
Informal
Ruang
yang terbentuk hanya untuk waktu singkat., seperti ruang yang terbentuk ketika
dua atau lebih orang berkumpul. Ruang ini tidak tetap dan terjadi diluar
kesadaran orang yang bersangkutan.
Banyak ruang justru dibentuk seketika
ia dibutuhkan untuk aktivitas tertentu. Suatu lay out yang dapat diadaptasikan
memungkinkan adanya berbagai pola perilaku pada waktu yang berbeda tanpa perlu
melakukan perubahan physical milieu.
Misalnya, sebuah ruang serbaguna yang dapat dipakai pada suatu saat untuk
dipertandingkan badminton, tenis meja, dan karate. Pada saat lain, bisa dipakai
untuk kegiatan halal bi halal. Pada kesempatan lain bisa juga untuk tempat
pertunjukan sendra tari.
Robert Venturi mengatakan:
“…ada justifikasi untuk bangunan
serbaguna,….sebuah ruangan dapat mempunyai sebuah fungsi pada saat yang sama
atau pada waktu yang berbeda”
Konsep
system aktivitas dan behavior setting member dasar yang lebih luas dalam
mempertimbangkan lingkungan daripada hanya semata-mata tata guna lahan, tipe
bangunan, dan tipe ruangan secara fisik. Dengan demikian, membebaskan arsitek
dari bentuk-bentuk klise, bentuk-bentuk prototype, atau memaksakan citra yang
tidak sesuai dengan pola perilaku masyarakat penggunanya. Sebaliknya, membawa
arsitek berpikir pola perilaku dan milieu
sebagai suatu entitas atau suatu
kesatuan.
Rapoport
(1969) mengidentifikasi lima aspek budaya yang tercermin dalam desain sebuah
rumah, yaitu cara menjalankan aktivitas dasar, struktur keluarga, peran gender,
sikap terhadap privasi, dan proses social.
Dari
uraian tersebut, jelas bahwa organisasi keluarga dan gaya hidup mempunyai peran
penting dalam desain suatu behavior
setting.
so useful. thankyou for post this
BalasHapusKalau boleh tahu ini diambil dari buku apa ya.thx
BalasHapusJazakillahkhairan ukhti
BalasHapusreferensinya dari mana klu boleh tau
BalasHapus