Aku mendekati
Mama Nurung, tante yang merawatku selayaknya anak sendiri, “Ma, saya ingin berjilbab! Masa’ adek-adek ku
di kampung sana sudah pake duluan, padahal masih kelas 2 SD. Saya sudah mau
naik kelas 5 SD belum berjilbab sama sekali!”.
Kejadian itu 14 tahun yang lalu, disaat saya belum tahu apa-apa
bagaimana jilbab itu sebenarnya dengan segala macam konsekuensinya. Saat itu
saya hanyalah seorang kakak yang iri
pada amalan shaleh yang dilakukan si adik. Pada usiaku saat itu, saya selalu
tidak ingin dikalahkan.
Jilbab pertamaku
seukuran seperdua lengan, berwarna putih, saya pun dibelikan baju lengan
panjang, tapir rok SD saya tetap sependek rok SD pada umumnya. Untuk menutupi betis,
saya menggunakan kaos kaki yang lebih panjang dan tinggi. Karet dasi SD saya sudah lumayan longgar,
tapi ini justru menguntungkan saya. Saya terus menariknya agar meskipun
mengenakan jilbab, dasi saya tetap terlihat dan pakaian yang saya kenakan tetap
sesuai aturan.
Tahun 2012, umur
jilbab atau hijab yang kukenakan ini jika diibaratkan dengan usia seorang
manusia, maka ia telah menginjak usia remaja, yah kurang lebih 14 tahun.
Jilbabku kini besar tidak hanya dari segi ukurannya yang memang besar tapi
maknanya yang kini bukan lagi seperti belasan tahun lalu yang hanya sekedar
iri, tapi ini adalah pakaian kebesaranku, kebanggaanku sebagai seorang
muslimah.
Pertama kali
memakai jilbab ke sekolah pada tahun 1998, jilbab tidak sepopuler sekarang.
Adalah aneh memakai jilbab padahal masih sekolah dasar. Tapi saya terus saja,
dan alhasil jilbab yang masih belum sempurna karena roknya masih pendek ala rok
SD itu akhirnya jadi bulan-bulanan bahan ejekan teman-teman. Dibilang botak
lah, aneh lah, apa aja deh. Meskipun
masih bongkar pasang karena masih kecil, tapi saya terus berusaha belajar. Dan
sungguh hidayah Allah-lah yang bekerja disini.
Ketika
mengunjungi Nini (sebutan untuk nenek dari pihak ibu) di Cilacap, Jawa Tengah,
saya tidak pernah sekalipun melepas jilbab. Perjalanan yang hanya saya lakoni
berdua dengan kakak tertua saya yang saat itu masih kelas 2 SMP benar-benar
memberikan pengalaman berharga. Kami
berdua, yang biasanya hanya berjilbab ke sekolah, tiba-tiba tidak pernah
melepas jilbab kami kecuali jika ingin mandi dan tidur. Dari sorot mata Nini saat itu terlihat
jelas bangga dan terharu melihat cucunya
yang lahir dan besar di tanah nun jauh disana
masih bisa mendapatkan nilai-nilai islam. Sayangnya ketika kembali ke
Makassar, kami kembali ke kebiasaan lama yang hanya berjilbab ketika ke
sekolah. Nini yang beberapa bulan kemudian berbalik mengunjungi kami karena
lahirnya si bungsu terlihat sangat kecewa, pertama kali yang terlontar di
mulutnya ketika melihat kami menyambutnya di pagar rumah tanpa berhijab, ‘lha
hijabnya mana nak? Kok dilepas?’. Deggg… pertanyaannya sopan tapi sungguh
menusuk. Aku pun berazzam sejak saat
itu untuk terus memperbaiki kualitas hijabku.
Memasuki dunia
SMP, aku bertemu seseorang yang kemudian menjadi sahabatku hingga saat ini.
Namanya, Rahmawati, tapi aku memanggilnya Wati. Dia sungguh baik. Sama
sepertiku dia berhijab sejak SD. Hanya ada 4 orang yang berjilbab diantara
kurang lebih 300 orang di angkatan kami. Wati sungguh memberi pengaruh positif
kepadaku. Saya pun mulai tetap berjilbab meskipun tidak disekolah. Ketika
keluar main di sekitar rumah dan lain-lain saya berusaha berjilbab, tapi
didalam rumah tidak. Saya pun berpikir, di dalam rumah boleh jadi ada tamu,
bukankah tamu itu orang lain dan tidak bisa melihat kita tidak berjilbab? Dan
begitulah terus berjalan hingga SMA.
Banyak yang
mengatakan masa-masa SMA adalah masa pencarian jati diri. Saya sangat setuju
dengan hal itu. Sungguh kuasa Allah, hatiku kala itu sangat tertarik membaca
majalah-majalah atau buletin islami. Membacanya seperti ada ketenangan hati dan
perasaan baru mengetahuinya padahal boleh jadi ilmu itu sudah pernah didapatkan
sebelumnya. Menginjak kelas 3, kami disarankan mengikuti bimbingan belajar yang
intensif saat libur bulan Ramadhan. Saat ikut disalah satu bimbingan belajar
yang ada di kota Makassar itu, seorang teman mengajakku mengikuti semacam
pengajian, waktu itu istilahnya masih asing di telingaku, ‘daurah’, lebih
jelasnya belajar islam, ragu awalnya tapi saya akhirnya ikut saja. Subhanallah…
diri ini rasanya baru benar-benar mengenal Allah saat itu. Daurahnya
dilaksanakan di tempat sederhana dan jumlah kami sebagai peserta tidak cukup
sepuluh. Ilmu yang saya dapatkan dari k pemateri lumayan banyak tapi
menyenangkan. Setelah itu saya juga akhirnya tahu bahwa sebagai seorang muslim
menuntut ilmu agama adalah sebuah kewajiban. Mulailah saya mengulurkan jilbab
lebih panjang, dari yang segitiga kecil ke segitiga yang agak besar. Ini agak
aneh. Karena SMA saya merupakan sekolah negeri yang berasrama, perubahan saya
kala itu ‘cukup’ mendapatkan perhatian. Tapi bagaimanapun sebuah amal haruslah
didasari dengan ilmu, dan sebuah ilmu tak akan ada apa-apanya jika tidak
diamalkan. Saat itupun saya kemudian belajar menghijabi hati dari
perkara-perkara maksiat. Saya belajar dan belajar.
Masa-masa kuliah
adalah masa yang penuh keputusan penting sebagai bukti proses menuju dewasa.
Aku melihat dikampusku kakak-kakak yang lebih dahulu mengikuti pengajian
memakai jilbab yang lebih besar, lebih tertutup, lebih syar’i. Hatiku bergumam
kala itu, ‘saya akan memakai hijab seperti itu suatu saat nanti jika sudah
siap’. Saya pun mulai aktif mengikuti kajian-kajian keagamaan diluar rutinitas
kuliah. Tak ternilai harganya bergaul dengan orang-orang shaleh karena kita pun
akan merasakan dampaknya. Sampai pada tahun yang penuh duka dimulai, tepatnya
tahun 2008, ketika secara beruntun keluargaku menghadap Allah Azza wa jalla ,dimulai dari Bapak Serang, paman tersayang yang merawatku
sejak kecil yang meninggal pada 3 februari, lalu pamanku (saudara ayah) sepuluh hari
kemudian, kemudian nenek satu-satunya tiga bulan kemudian, saya lalu berpikir
mengapa saya memperlambat realisasi niat? Bukankah saya tidak tahu batas umur
saya? Bukankah kebaikan harus disegerakan? Bismillahirrahmanirrahim… jilbabku kuulurkan
lebih panjang lagi dan lebih besar. Saat itu saya berpikir untuk membawa shalat
dalam kehidupan sehari-hari melalui pakaian yang kukenakan. Jilbabku kuulurkan
sebesar mukena atau setengah paha dengan harapan jilbabku ini bisa lebih
melindungi diriku dan mengingatkanku untuk terus beramal shaleh.
Saya tidak tahu
kapan tepatnya hijab yang benar saya lakukan, baik dari niat maupun
pelaksanaannya. Sampai sekarang saya merasa semuanya hijab ini belum sempurna
dan harus tetap belajar. Yang lebih penting adalah sinkronnya jilbab yang
dikenakan dengan hati yang ada di dalamnya dan itu sungguh tidak mudah. Tidak
mudah juga bagi saya pribadi berjilbab yang besarnya seperti mukena ini di era
sekarang. Dianggap terorislah, susah dapat kerjalah, dan sebagainya. Tapi saya
yakin pada ALLAH SWT, dia tidak akan membiarkan hamba-hambaNya. Bukankah rezeki
setiap orang telah ditetapkan? . Meskipun sulit tapi saya akan terus bertahan
dengan hijab ini. Apa yang diberikan Allah padaku berupa hidayah ini, jauh
lebih berharga daripada apapun. Allah
telah menunjukkan beragam cintanya padaku melalui perantara hijab yang
kukenakan ini. Dan Alhamdulillah segalanya malah lebih mudah, baik kuliah
maupun pekerjaan.
Antara kuliah
dan dunia kerja ada begitu banyak perbedaan. Di dalam kampus, kita bisa saja
merasa lebih aman untuk menunjukkan nilai-nilai keislaman kita, tapi di dunia
kerja semuanya menjadi lebih sulit. Sebuah kantor bisa saja milik orang
tertentu yang mungkin tidak menerima hijab dalam lingkungannya. Pada tahap
inilah banyak yang berguguran dalam perjuangan mempertahankan jilbab. Demi
alasan kebutuhan dan ekonomi, jilbab pun dengan gampangnya dilepas. Termasuk
saya pun merasakan masa-masa penuh ujian ini. Setengah diri ingin menunjukkan
balas budi pada orang tua dengan bekerja dan setengah lainnya ingin tetap
mempertahankan amalan terhadap sebuah ilmu yaitu mempertahankan jilbab.
Alhamdulillah Allah selalu menunjukkan kuasanya pada mereka yang yakin. Saya
dengan jilbab seperti ini diberi kesempatan olehNya merasakan dunia kerja yang
sesuai dengan bidang saya sendiri yaitu Arsitektur. Meski didominasi oleh kaum
adam, sungguh Allah menunjukkan kuasaNya bagi mereka yang yakin, karena
akhirnya saya tetap bisa berkarya. “Laa
haula wa laa quwwata illa billah- tidak ada daya dan kekuatan melainkan
karena pertolongan Allah”. Dan meski setelah 14 tahun, saya tidak boleh
berhenti belajar untuk menjadi muslimah yang kaffah. Apa yang saya putuskan dan
saya lakukan serta pengorbanan yang sedikit ini tidak akan pernah sebanding
dengan para shahabiyah di zaman Rasulullah, sungguh diri ini masih berproses
untuk menjadi sebaik-baik wanita akhir zaman. Innallaha ma’ana yaa muslimah-sesungguhnya Allah bersama kita wahai
para muslimah.
Istiqomah yah istiqomah..
BalasHapushehe..sesuai namamu..
alhamdulillah yah,,,, karena imannya selalu naik dan naik...
BalasHapusitu bannernya mengingatkan saya pada tokoh di novel diorama sepasang al-banna :)
nama blognya juga mirip, pekerjaannya arsitek juga...
hehe
hahaha iya juga ya... sebenarnya tidak pernah berniat seperti itu, tapi kalau dipikir2 sepertinya saya terpengaruh juga. Rani yang di Diorama sepasang al banna keren lho... apalagi dapat suami kayak Ryan Fikri,,,wahh mauuu!!!
Hapusnovi salam kenal ya... makasih sudah mau komen postinganku...
yippii.. sama-sama :)
Hapusternyata, kita sama2 penggemar ryan fikri dan rani yah.. :)
*toss