Meskipun Wakatobi terkenal
dengan bawah lautnya yang katanya seperti surga, jujur saya tidak pernah merasakannya.
Kehidupanku disana berkutat antara lokasi proyek dan depan komputer, dari senin
sampe senin lagi, dari pagi sampai jika sudah saatnya tidur. Tidak ada waktu
untuk sekedar diving sejenak (sebenarnya juga karena saya tidak tahu
berenang). Beruntung posisiku masih bawahan dan pemula saat itu, sehingga tidak
begitu merasa tertekan. Tidak seperti beberapa dari kami.
Bayanganku tentang Wakatobi yang indah seperti Bali, berubah 180 derajat. Tiba di bandara Matahora yang masih sederhana itu dengan Express air
(pesawat kecil yang hanya memuat kira-kira 30 orang), dijemput oleh L-300
(kendaraan operasional bagian logistik), ditemani teriknya matahari Wakatobi.
Ternyata tempatnya tidak jauh. Di bandara itulah, direksi keet perusahaan BUMN
itu dibuat. Maklum Bandara juga adalah salah satu proyek yang sedang berjalan.
Tugasku sebenarnya menangani gambar untuk proyek Kementerian Kelautan dan
Perikanan, tapi berhubung belum jalan, jadilah untuk sementara saya membantu
pengerjaan proyek Bandara Matahora. Begitulah kehidupanku berjalan kala itu.
Lalu ada sebuah kejadian
yang mungkin tidak akan aku lupakan seumur hidup. Kejadian itu sangat
menggemparkan. Seorang temanku memutuskan mengakhiri hidupnya dengan gantung
diri. Ngeri rasanya jika berusaha mengingat kejadian itu lagi, tapi karena
banyak hikmah yang bisa dipetik, cerita itupun harus kubagi. Boleh dibilang
beliaulah partner sekaligus supervisorku. Umurnya masih sangat muda, merupakan
rekrutan dari pusat, dan alumni salah satu universitas top di negeri ini. Kami
berdua diplot untuk menangani proyek KKP, sementara yang lain menyelesaikan
urusan Bandara. Saat itu Kepala Proyek tidak ditempat, yang mengatur logistik
pun belum kunjung tiba di Wakatobi, sementara si ‘wakil kapro’ belum pulang
dari kampung lantaran ayahnya sakit keras. Saat itu pasca libur lebaran, dan
jadilah temanku ini memegang 4 pekerjaan sekaligus. Saya bisa merasakan tekanan
bertubi-tubi datang padanya lewat telepon. Meski tak pernah bercerita penuh,
gurat kelelahan terus memancar. Kadang-kadang keluar dari mulutnya keluhan
bahwa ia benar-benar lelah. Berulangkali saya menawarkan bantuan, tapi beliau
mengatakan bahwa saya tidak mengerti, dan memang benar. Pekerjaan disini
sebenarnya mengarah ke Sipil, dan pengetahuan saya akan struktur sangat kacau,
bahkan membuat dan menghitung bestaat lama baru bisa saya pahami. Tentu saja, itu karena diriku hanyalah fresh graduate dari jurusan Arsitektur. Kejadian tak
diinginkan pun terjadi. Tepat hari Jum’at , saat Kapro (baca: kepala proyek)
dan KSDM datang, beliau tak kunjung kelihatan batang hidungnya sejak pagi,
padahal biasanya dia yang paling rajin, pagi-pagi buta sudah duduk serius depan
laptop, hari itu kami juga tidak melihatnya sarapan pagi. Kemana dia? Awalnya
kami tidak menghiraukannya, kami beranggapan mungkin dia hanya refreshing
sejenak keliling runway, tapi ketika siang menjelang, waktunya sholat jum’at,
beliau tidak kunjung pulang sampai sore dan kami pun mencarinya keliling
kampung. Hingga akhirnya menjelang maghrib, orang kampung menemukannya dalam
kondisi yang saya pun tidak sanggup melihatnya.
Kehidupan proyek yang
keras mungkin yang membuat beliau mengambil keputusan itu. Sampai sekarang pun
saya tidak pernah mengerti. Bukankah kita masih punya Allah? Tempat mengadu.
Padahal temanku ini termasuk yang sholat, ditengah orang-orang proyek yang kebanyakan
tidak sholat bahkan tidak mengenal agamanya.
Kejadian demi kejadian
menghampiri kami. Baik yang masuk akal maupun yang tidak bisa diterima oleh
akal sehat. Ada lagi kejadian gedung yang tengah kami rampungkan disambar
petir. Dan masih banyak lagi. Saya mengalami episode terhoror dalam hidup saya,
yang sebelumnya, hanya saya saksikan lewat layar kaca, kali ini benar-benar
kualami.
Di tempat ini saya juga
berjuang dengan sangat keras, membuktikan bahwa wanita berjilbab besar
sepertiku juga bisa. Tampaknya saya harus terbiasa dengan pandangan orang-orang
ketika pertama kali bertemu, yup..melihatku dari atas sampai bawah. Huhhh…Am I
a strangeous one? Tapi tidak apa-apa, saya harus bekerja keras untuk itu.
And… it’s my destiny.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar